5 Jagoan Luar Biasa (1)

5 Jagoan Luar Biasa (1-5)
“PERTIKAIAN TOKOH-TOKOH PERSILATAN – HOA-SAN LUN-KIAM”
Atau Judul Aslinya adalah :
“SE CHIE WU CIAT – KISAH LIMA JAGO LUAR BIASA DUNIA PERSILATAN”
Bagian 01
ANG-TOA
DI JALAN RAYA yang menghubungkan jalan „Cing-an dengan jalan ke-Bu-tong, tampak, ber lari2 seorang-anak lelaki kecil berusia delapan tahun, sambil ber-lari2 begitu, mulutnya tidak hentinya mengoceh seperti bernyanyi.
„Plak, plak, plak,
Kudaku lari keras sekali,
Gagah dengan pedang,
Berani menghadapi maut,
Siapa yang menghadang,
Ditabraknya dengan segera.
Plak, plak, plak,
Kudaku warna bulunya merah,
Larinya keras jika tengah marah,
Meraung keras dengan gagah.
Siapa berani menentangnya ?”
Terus juga anak lelaki itu berlari-lari dengan mulut mengoceh tidak hentinya seperti itu, dia berlari dengan membawa sikap seperti tengah menunggangi seekor kuda, tubuhnya digentak-gentakkan. Tetapi waktu dia melihat seorang anak lelaki sebaya. dengannya sedang bermain kelereng, dan seorang anak lelaki,lainnya berusia diantara sepuluh tahun tengah berjongkok untuk menyentil kelerengnya, anak lelaki ini telah meng hampirinya. Tahu-tahu tangan kanannya digerakkan, waktu telah berada dekat dengan kedua oraag-anak itu, dia telah menjitak kepala, anak yang berusia diantara sepuluh tahun, cukup keras jitakannya itu, sampai memperdengarkan suara ‘takk….. !.’, sedangkan anak yang seorangnya lagi waktu melihat munculnya anak-lelaki yang nakal itu, telah ketakutan dan memutar tubuh bermaksud melarikan diri, tetapi anak lelaki itu telah mengejarnya dan mengayunkan tangaanya, ‘Tak…..!’ kepala anak itu juga telah dijitaknya lagi.
„Serahkan semua kelereng kalian !” kata anak lelaki yang nakal ini.
Kedua anak itu tampaknya takut terhadap anak yang nakal itu, mereka telah memberikan sebagian dari kelereng mereka.
„Jangan diambil semua, Ang-toa (situa Ang)!” kata anak yang berusia sepuluh tahun itu dengan muka meringis menahan takut.
Ang-toa, anak lelaki yang nakal itu, telah mendelikkan matanya, tangan kanannya dengan ringan telah bergerak lagi menjitak kepala anak berusia sepuluh-tahun itu.
„Kepalamu mau bengkak kujitaki terus?” bentak Ang-toa sambil mengulurkan tangannya seperti meminta dengan paksa kelereng kedua anak itu.
Kedua anak tersebut yang memang rupanya jeri berurusan dengan Ang-toa, telah menyerahkan lagi sebagian kelereng mereka, sehingga sebutirpun mereka tidak memilikinya lagi.
Setelah menerima semua kelereng itu, tampak Ang-toa telah ber-lari2 lagi, tangan kanan dan tangan kirinya menepuk-nepuk sakunya, sehingga terdengar „crengggg….., crengggg……!” suara terbenturnya tangan dengan kelereng yang berada didalam sakunya, dan sambil berlari-lari begitu, dia juga telah bernyanyi-nyanyi tiada hentinya dengan lagunya yang cukup jenaka itu :
„Plak, plak, plak, Kudaku lari keras sekali, Gagah dengan pedang, Berani menghadapi maut, Siapa yang menghadang, Ditabraknya dengan segera.
Plak, plak, plak, Kudaku warna bulunya merah, Larinya keras jika tengah marah, Meraung keras dengan gagah. Siapa berani menentangnya ?……….”
Sikap Ang-toa tampak jenaka, walaupun usianya masih kecil, namun justru yang mengherankan dia dipanggil namanya Ang-toa, situa she Ang.
Diantara sifat-sifatnya yang jenaka, tampak keberandalannya yang agak lumayan, sehiagga anak lelaki berusia lebih besar dari dia saja takut berurusan dengan Ang-toa, yang namanya telah tua tetapi orangnya masih kecil seperti itu.
Setelah berlari-lari beberapa tikungan, dia melihat dipinggir emperan sebuah rumah ada tiga orang anak yang tengah bermain kelereng.
Ang-toa mempercepat larinya, dia telah menghampiri rombongan anak-anak itu.
„Aku ikut main……!” teriaknya sambil memukul-mukul sakunya sehingga kelereng rampasanya memperdengarkan suara berkelintingan.
Ketiga anak lelaki itu telah menoleh waktu mendengar teriakan Ang-toa, dan seketika mereka mereka jadi pucat.
„Oh, aku tadi disuruh ibu pergi kepasar… maaf, aku harus pergi dulu…!” kata anak yang berusia diantara sebelas tahun sambil mengambil kelerengnya, dan memutar tubuhnya untuk berlalu.
„Hei…., jangan pergi dulu !” bentak Ang-toa mendongkol karena justru anak itu ingin berlari atas kedatangannya ditempat itu.
Anak itu mukanya tambah pucat.
„Aku…benar-benar sedang disuruh ibuku untuk pergi kepasar membeli beras”, menjelaskan anak itu dengan suara yang tergagap.
„Aku tidak mau tahu! Yang jelas aku datang engkau lalu mau pargi…,! Bukankah itu suatu kesalahan yang tidak kecil? Kau telah menghina aku…!” dan Ang-toa telah menghampiri anak itu.
Melihat Ang-toa mendekatinya, anak lelaki berusia, sebelas tahun itu jadi gugup dan mukanya tambah pucat, dia telah mementang kedua kakinya untuk berlari.
Tetapi, A-ng-toa bergerak cepat dia melompat sambil mengayunkan tangannya, „pletak…..!” kepala anak itu kena dijitaknya keras sekali. Anak itu mengaduh, tetapi kakinya tidak berhenti, dia telah lari tergesa-gesa.
Sedangkan Ang-toa telah tertawa keras, kemudian menoleh kepada kedua anak lainnya yang saat itu berjongkok dengan muka yang pucat.
„Dan kalian berdua apakah tidak mau bermain kelereng denganku…?” tanya Ang-toa sambil mendeliki matanya, sehingga sikapnya jenaka sekali.
Kedua anak itu menggelengkan kepalanya: „Mana berani kami, tidak menuruti keinginanmu Ang-toa? kata salah seorang diantara mereka dengan suara tergagap karena diliputi perasaan takut.
„Bagus! ‘Mari kita main……!” dan Ang-toa telah mengeluarkan tiga buah kelerengnya, dua buah dilemparkannya ketanah, sambil katanya : „Pasang…!”
Kedua anak itu hanya menuruti saja, mereka masing-masing juga telah memasang dua kelereng mereka, dan kemudian berdiri berjajar dengan Ang-toa dalam jarak tertentu.
„Ang-toa telah melemparkan kelerengnya, begitupun kemudian kedua anak itu.
„Aku jalan dulu !” kata Ang-toa kegirangan melihat kelerengnya berada paling jauh.
„Ya…, ya…, engkau jalan dulu…!” kata salah seorang diantara kedua anak lelaki itu.
Mereka tampaknya bermain kelereng dengan semangat yang tidak ada, karena mereka hanya mengiyakan apa yang dikatakan Ang-toa.
Saat itu Ang-toa telah ber-jongkok, dia menyentil kelerengnya, dan kelerengnya itu meluncur menyerempet pasangan kelereng mereka, tetapi tidak ada sebutirpun kelereng pasangan itu yang terlontar keluar dari lingkaran batas-batas yang telah digambar ditanah.
Walaupun Ang-toa tidak berhasil melnyentil mengenai pasangan, namun dia telah melompat-lompat kegirangan sambil serunya : „Aku kena!
Keenam kelereng itu telah menjadi milikku !”.
Muka kedua anak itn tidak memperlihatkan sikap atau perasaan lain, karena mereka telah berdiri pucat ketakutan, sebab mereka mengetahui siapa Ang-toa, sinakal jenaka ini.
„Ya…… kau ambillah, Ang-toa !” kata mereka hampir berbareng.
Ang-toa mengambil keenam kelereng pasangan itu dan dia telah berkata kepada kedua anak, itu : „Ayo pasang lagi…!”.
„Ang-toa…!” kata salah seorang diantara kedua anak tersebut.
„Kenapa ? Kalian juga tidak mau bermain kelereng denganku ?” tanya Ang-toa sambil mendeliki matanya.
„Bukan begitu, mendadak sekali perutku sakit ! Engkau ambillah sebelas kelerengku ini, tetapi maafkan aku harus pulang untuk buang air dult …!” dan anak lelaki itu yang berusia diantara dua belas tahun itu telah menyodorkan kelerengnya, yang semuanya diberikan kepada Ang-toa. Rupanya dia memang sudah tidak mau bermain dengan Ang-toa dan lebih rela menyerahkan sisa kelereng yang ada padanya. Ang-toa menerima kelereng-kelereng itu dan memasukkan kedalam sakunya. „Dan engkau…?” tanyanya kepada anak yang seorangnya.
„Aku tadi disuruh ibu untuk membeli ikan” menyahuti anak itu. „Aku baru ingat sekarang, maka aku bermaksud untuk pergi membeli ikan dulu…!”.
„Ah, engkau benar-benar jahat tidak mau menemani aku main kelereng !” kata Ang-toa dan tangannya bergerak menjitak anak itu.
Anak tersebut yang keningnya kena dijitak keras oleh Ang-toa tidak mengaduh, dia hanya menyodorkan sisa kelerengnya yang masih berjumlah delapan buah. „Kau ambillah Ang-toa, aku memang tidak sepandai engkau bermain kelereng, anggap saja aku telah kalah…!”.
Ang-toa sambil tersenyum mengejek telah menerima kedelapan kelereng anak itu, dia telah memasukkan kedalam sakunya. Sedangkan anak itu telah membalikkan tubuhnya untuk berlalu. Anak yang seorangnya lagi juga telah cepat-cepat meninggalkan Ang-toa.
Ang-toa masih berdiri ditempatnya, dia jadi tidak tahu apa yang ingin dilakukannya, hanya tangan kanan dan kiri telah digerak-gerakkan per-lahan2 memukul sakunya sehingga kelereng yang berada didalam sakunya itu telah bergemerincing memperdengarkan suaranya.
„Heran….! Mereka semuanya tidak mau bermain kelereng denganku…! Mengapa begitu? Memang mereka manusia-manusia jahat, selalu mengasingkan diriku…….!” menggumam Ang-toa. Dia tidak menyadari, justru dirinya sendiri yang setiap kali bermain kelereng, tentu akan bermain curang, menang atau tidak, dia harus menang, sehingga anak-anak yang sebaya dengannya tidak berani bermain kelereng dengannya, sebab jika mereka menentang Ang-toa, berarti mereka akan di-jitak dan dipukul oleh Ang-toa, sinakal yang jenaka ini.
Setelah berdiam diri sejenak lamanya ditempat itu, Ang-toa telah menyusuri jalan itu, dia sampai dipinggiran kota, berdiri menyender dibatang pohon, dan tangan kanannya satu persatu melemparkan kelerengnya. Akhirnya, kelereng rampasan yang berada disakunya telah habis menggeletak ditanah.
Tetapi Ang-toa tidak berusaha untuk memungut atau mengambil kelereng itu lagi, dia telah ngeloyor pergi meninggalkan tempat tersebut.
Selagi Ang-toa berjalan dengan kepala tertunduk dan kaki menendang-nendang setiap batu kerikil yang dilaluinya, tiba-tiba dia mendengar suara sorak dan pekik riang dari beberapa orang anak-anak.
Waktu Ang-toa melihat serombongan anak lelaki yang tengah berkerumun bermain kelereng, Ang-toa jadi girang kembali. Cepat-cepat dia berlari menghampiri rombongan anak-anak itu yang mungkin berjumlah delapan orang anak:
„Aku ikut main……!” teriak Ang-toa.
„Kau, Ang-toa ?” tanya seorang anak lelaki yang mungkin berusia tiga belas tahun dan memiliki bentuk tubuh yang sehat. „Mana kelerengmu ?”.
„Kalian pinjami dulu, nanti setelah aku menang, aku akan mengembalikannya…!” menyahuti Ang-toa.
„Cisss, enak saja, engkau mau meminjam.! Jika kalah ennkau akan menggantinya dengan apa ?
„Aku tidak mungkin kalah…nanti setelah menang aku menggaatinya dengan menghadiahi dua kelereng !” kata Ang-toa berusaha untuk membu juk.
Tetapi anak lelaki yang bertubuh Iebih besar dari Ang-toa itu, telah menggelengkan kepalanya.
„Kalau tidak memiliki kelereng, jangan ikut main !” katanya.
„Hei, kok begitu? Mengapa engkau tampaknya tidak senang kalau aku ikut main ?” tanya Ang-toa dengan suara menegur.
„Siapa yang tidak sudi main deagan engkau? Aku mau saja main kelereng denganmu, tetapi engkau harus memiliki kelereng sendiri, jangan seenakmu saja ingin meminjam dulu kelereng kami…!”.
„Bu-ko (engko Bu), engkau jangan begitu… aku berjanji akan mengembalikan kelereng yang kupinjam- itu” membujuk Ang-toa.
„Tidak !”.
.„Dan kau ?” tanya Ang-toa kepada anak lainnya dengan; mata yang dipentang.
„Aku…aku sih mau saja memberikan pinjaman kelereng kepadamu, tetapi engkau tanyakan dulu kepada Bu-ko, apakah dia menyetujui atau tidak !”.
„Mengapa harus begitu? Bukankah kelereng itu milikmu, mengapa aku harut menanyakan pendapat anak she Bu itu ?” suara Ang-toa jang galak.
Bu-ko, anak yang lebih besar beberapa tahun dari Ang-toa, telah berkata tidak sabar : „Ang-toa, lebih baik engkau pergi meninggalkan kami, jangan mengganggu permainan kami saja…….
Mendengar perkataan anak itu yang terakhir, Ang-toa rupanya habis sabar, dia telah bilang sambil bertolak pinggang : „Engkau jadi ingin menggertak aku…..? Baik……!
Baik! Aku justru ingin menjitak kepalamu, entah engkau bisa melawan aku atau tidak…!” Dan benar-benar Ang-toa telah melangkah menghampiri si Bu-ko, dia mengayunkan tangannya untuk menjitak kening orang.
Tetapi Bu-ko mana mau membiarkan dirinya dijitak Ang-toa, dengan mendongkol dia telah melompat kesamping mengelakkan jitakan
„Ang-toa, engkau jangan kurang ajar!” bentak anak itu dengan sengit. „Kalan memang engkau terlalu mendesak diriku, jangan persalahkan aku yang akan mengambil tindakan keras kepadamu !”.
„Eh, engkau berani berurusan denganku,?” tanya Ang-toa dengan suara aseran.
„Mengapa harus takut ? Jika memang engkau keterlaluan, tentu siapapun juga berani berurusan denganmu !” menyahuti Bu-ko dengan suara tidak kalah gertak.
”Tetapi Ang-toa rupanya mendongkol bercampur marah, dia telah mendekati Bu-ko.
„Dia harus kutundukkan, jika tidak tentu anak-anak lain berani kurangajar padaku …!” pikir Ang-toa didalam hatinya.
Karena berpikirr begitu, dia telah menggerakkan tangannya untuk menjitak: kepala Bu-ko.
Tetapi karena memang lebih besar beberapa tahun dari Ang-toa, disamping dia juga memiliki badan yang cukup besar, Bu-ko tidak takut terhadap jitakan yang dilakukan Ang-toa, bahkan setelah berkelit menghindarkan diri, tahu-tahu kepalan tangannya telah melayang hinggap dihidung Ang-toa, sampai Ang-toa terjungkel diatas tanah.
Matanya berkunang-kunang, tetapi cepat sekali Ang-toa telah melompat bangun, dan dia menyerudukkan kepalanya keperut Bu-ko.
„Bukk……!” si Bu-ko itu telah diseruduk keras sekali perutnya oleh kepala Ang-toa, dia sampai menjerit kesakitan dan telah terjengkang rubuh.
Tetapi Ang-toa benar-benar nakal sekali, dia telah merangkul Bu-ko, dan menggigit telinga lawannya itu.
Keruan saja anak itu jadi menjerit-jerit kesakitan dan berusaha meronta, tetapi Ang-toa tetap menggigit telinga lawannya dengan kuat sekali.
„Ampun tidak ? Berani kurang ajar lagi kepadaku atau tidak ?” tanya Ang-toa melepaskan gigitannya sebentar, dan kemudian menggigit lagi telinga Bu-ko.
Saking kesakitan Bu-ko sampai menangis dia telah berteriak-teriak meminta ampun.
Setelah puas cukup lama meriggigit telinga lawannya, Ang-toa telah melompat bangun, dia mengawasi Bu-ko yang tengah menangis sambil memegangi telinganya yang merah bekas digigit Ang-toa.
„Kalau suatu saat nanti engkau berani banyak lagak lagi dihadapanku, akan kugigit putus telingamu itu !” ancam Ang-toa dengan sikap yang bangga, karena dia telah berhasil mengalahkan lawan yang lebih besar dari.dia, dan membuat lawannya menangis.
„Akan kuberitahukan ayahku…!” kata Bu-ko sambij menangis dan berdiri untuk berlalu.
„Ala, engkau memang besar mulut saja !” kata Ang-toa sambil menjitak kening Bu-ko.
Bu-ko -tidak berani melawannya lagi, dia telah berlari-lari meninggalkan tempat itu.
Anak-anak lainnya yang menyaksikan ‘jago’ mereka kena dirubuhkan Ang-toa, telah berdiri dengan muka yang pucat pasi ketakutan.
„Sekarang kalian berani bertingkah lagi atau, tidak dihadapanku bentak Ang-toa kepada anak-anak itu.
„Tidak…..! Tidak….! Tadi memang Bu-ko keterlaluan sekali, dia telah menganjurkan kami agar tidak mau menemani engkau bermain kelereng…….”
„Hemm…., orang seperti dia memang harus dihajar……agar kelak tidak besar mulut saja……! Punya badan yang tinggi besar, tetapi nyalinya sebesar nyali tikus !”
Anak-anak yang tengah ketakutan itu memaksakan diri untuk tertawa, padahal hati mereka juga tengah berdenyut-denyut ngeri, karena takut dijitak oleh Ang-toa.
„Ayo, siapa yang mau meminjamkan kelerengnya kepadaku ?” tanya Ang-toa kemudian dengan suara yang nyaring.
„Aku…!”. .
„Aku mau meminjamikan !” kata anak yang lain.
„Ini Ang-toa, kelerengku saja engkau mainkan…! Aku memang bermaksud pulang makan dulu…!” kata anak yang lainnya sambil mengangsurkan semua kelereng miliknya kepada Ang-toa.
Ang-toa menggelengkan kepalanya. dengan mata mendelik besar.
„Kalian beaar-benar kurang ajar sekali !” kata Ang-toa sambil mendeliki matanya.
„Mengapa setiap kali aku mau bermain kelereng, kalian selalu saja ada alasan ini dan itu saja…! Aku tahu, kalian semuanya berdusta, kalian hanya takut bermain kelereng denganku dan mempergunakan berbagai cara untuk dapat menyingkirkan diri…!”
„Mana berani kami memiliki pikiran seperti itu ?” kata salah seorang anak itu cepat.
„Kami sejak dulu dan sampai sekarang, selalu akan mematuhi setiap perkataanmu Ang-toa ! Bukankah kini engkau telah menjadi pemimpin kami semua dengan keberanian dan kepandaian yang engkau miliki itu ?”
Bangga Ang-toa mendengar pujian seperti itu, dia telah mengambil kelereng dari anak yang katanya ingin pulang dulu untuk makan. Mulailah Ang-toa bermain dengan beberapa orang anak-anak itu: Tetapi seorangpun diantara anak-anak itu tidak baleh mengenai sasaran kelerengnya pada pasangan, jika menang sentilannya mengena juga, maka dengan sengit Ang-toa mengayunkan tangannya menjitak kepala anak yang menang itu.
Tetapi jika Ang-toa sendiri, kena atau tidak, dia selalu berteriak dia menang, dan diambilnya semua pasangan itu. Namun lawan-lawan bermainnya itu tidak seorangpun yang berani membantahnya. Disaat itu saku Ang-toa telah penuh dengan kelereng.
Sedangkan anak-anak itu bermain tanpa bersemangat, karena mereka tahu jika menang akan dijitak, lebih baik mereka pura-pura kalah dan setiap kali menyentil kelerengnya selalu mereka memiringkan arahnya tidak kepada pasangannya…!
Akhirnya semua kelereng dari anak-anak itu, yang seluruhnya hampir berjumlah seratus butir, telah berpindah kesaku Ang-toa.
Seorang demi seorang, yang telah habis kelerengnya, menyatakan ingin pulang guna mengambil kelereng lagi, tetapi sesungguhnya mereka semuanya ingin cepat-cepat dapat melepaskan diri dari Ang-toa, yang galak dan main jitak itu.
Setelah semua anak itu berlalu, Ang-toa jadi berdiri bengong seorang diri.
Kelereng disakunya banyak dan berat, dia mengetuk-ngetuk sakunya beberapa kali, kemudian menggumam seorang diri : „Aku mau kemana lagi ?”
Dia mencari-cari memandang sekitarnya, dia ingin mencari anak-anak lainnya. Tetapi disekitar tempat itu tidak terlihat anak-anak lagi.
—oo0oo—
Mereka semuanya-seperti memusuhkan diriku ? Mengapa ? Mengapa begitu ?” tanya Ang-toa dengan perlahan, seperti juga dia-heran. Tetapi sesungguhnya, sebab utama anak-anak itu tidak mau bermain terlalu lama dengan Ang-toa, akibat sifat si Ang toa itu yang Main jitak dan main pukul jika tidak senang hatinya.
Waktu itulah Ang-toa merasakan perutnya keruyukan, dia telah lapar. Maka berlari -larilah Ang-toa – kedalam kota, sambil berlari dia mengoceh membawakan lagunya yang jenaka itu, “si kuda lari”. Sedangkan tangan kanannya juga melemparkan sebutir demi sebutir kelereng yang dimenangkannya kejalanan, sampai akhirnya sakunya telah kosong kembali. Dia berhenti dimuka sebuah rumah makan, yang memasang merek “Kwan Lui Tang”, dimana tamu yang mengunjungi rumah makan ini ramai sekali. Dimuka pin-tu tampak berdiri seorang pelayan yang khusus untuk menerima tamu-taw.u yang baru datang.
Ang-toa telah menghampiri pelayan itu..
„Engko yang baik, perutku lapar sekali…….!” kata Ang-toa sambil tepuk-tepuk perutnya.
„Lapar ?” tanya pelayan itu sambil menoleh. „Pergi pulang, ibumu tentu telah memasakkan makanan yang le-zat…….!”
„Aku, tidak memiliki ibu…!. kata Ang-toa” sambil nyengir.
Pelayan itu mengerutkan alisnya, dia memang telah mengetahui siapa Ang-toa, sianak nakal yang selalu berlaku nekad jika keinginannya tidak diberikan. Tetapi beberapa kali dia pernah memberikan kepada Ang-toa, namun dirinya telah dicaci maki oleh majikannya, maka dia tidak berani memberikan lagi makanan untuk Ang-toa.
,,Engko Yang baik, ayo dong…aku sudah lapar sakali nih…!” dan hidung Ang-toa kembangkempis niencium masakan yang wangi dan lezat, perutnya semakin keruyukan.
,,Tetapi aku,tidak memiliki hak disini untuk memberikan engkau makanan, nanti aku dimarahkan majikanku.,.!” kata sipelayan.
„Mengapa engkau sekarang jadi demikian pelit, engko ?” tanya Ang-toa.
„Bukannya pelit, tetapi rumah makan ini bukan milikku…!”.
„Engko yang baik, engkau jangan begitu, aku sudah lapar sekali…!” kata. Ang-toa merengek.
Pelayan itu jadi habis sabar.
„Ang-toa, pergilah kau, aku tengah sibuk melayani tamu-tamu…! Lihat, sudah ada tamu baru lagi…….!” dan dengan alasan akan menyambut tamu, pelayan itu bermaksud untuk masuk kedalam rumah makan agar tidak direweli Angtoa.
Tetapi Ang-toa telah menarik ujung bajunya, sambil katanya : „Engko, jika engkau tidak mau membagi makanan kepadaku, biar aku acak-acak rumah makan ini ….. ….!”
Sipelayan jadi kaget.
„Acak-acak?” tanyanya sambil memandang Ang-toa, akhirnya pelayan itu menghela napas. „Ang-toa, engkau jangan membawa lagak otak-otakan seperti itu. ….!”
Aku memang bisa mengerti keadaanmu, yang tidak memiliki uang untuk membeli makanan tetapi kawan-kawanku yang lain mana mau mengerti, mereka tentu akan me- ngambil tindakan keras jika engkau menimbulkan huru-hara didalam rumah makan ini…!”.
„Akh, perduli amat…… aku lapar, aku meminta cara baik-baik tidak diberikan, maka lebih baik aku merampas, atau mempergunakan kekerasan saja…….!” kata Ang-toa nekad.
Pelayan itu menghela napas dalam-dalam.
„Terserah kepadamu saja…!” dan setelah berkata begitu, sipelayan telah membalikkan diri dan memasuki ruangan dalam rumah makan.
Ang-toa melihat dia ditinggal begitu saja, telah melangkah masuk kedalam rumah makan. Tampak para tamu yang ramai sedang makan deagan masakan yang beraneka macam dan menyiarkan bau harum yang menusuk hidung Ang-toa, membuat hidung sibocah jadi kembang-kempis lagi. Dia berdiri sejenak ragu-ragu, tetapi kemudian menghampiri meja seorang tamu yang tengah menikmati hidangannya, terdiri dari ber- macam-macam sayur, ada ayam panggang, ada kuwah dengan lidah ayam, dan macam-macam sayur lainnya. Tetapi justru yang menarik hati Ang-toa adalah panggang ayam itu. Dia mengulurkan tangannya mengambil ayam panggang itu, sambil katanya : „Paman, bagi aku panggang ayamnya ya ?”.
Tamu itu yang berusia diantara tiga puluh tahun jadi terkejut dan menoleh. Lebih kaget lagi waktu dia melihat panggang ayamnya mulai . digrogoti Ang-toa.
„Oh, anak kurang ajar, pengemis tidak tahu diri !” berseru tamu itu. „Pelayan ! Pelayan ! Mana pelayan ! Hayo usir pengemis kurang ajar ini, selera makanku jadi menurun…!”.,
Tiga orang pelayan tergesa-gesa mendatangi, mereka berkata kepada Ang-toa dengan suara mengandung kemarahan : „Ang-toa, hayo keluar… jangan sampai kami yang melemparkan dirimu ! “.
Tempi Ang-toa tidak melayani ketiga orang pelayan itu, dia terus juga menggerogoti panggang ayamnya dengan nikmat sekali.
Ketiga orang pelayan itu jadi mendongkol, dua orang diantara mereka telah mengulurkan tangannya, mencekal lengan Ang-toa, lalu anak itu diangkatnya dan dilemparkan keluar rumah makan itu.
Tubuh Ang-toa terlempar bergulingan kejaIan, tetapi ayam panggang ditangannya tidak terlepas, begitu dia merangkak bangun, dia duduk, disamping pintu rumah makan dan meneruskan gerogotannya pada panggang ayam itu.
Sebentar saja, panggang ayam itu telah habis digerogotinya, hanya tinggal tulang-tulangnya saja.
Tetapi perut Ang-toa masih Iapar sekali, dia telah melangkah ingin memasuki ruang rumah makan itu lagi. Tetapi dua orang pelayan telah menghadang dan tidak membiarkan Ang–. toa masuk kedalarn ruang rumah makan itu.
„Perutku masih lapar nih……..!” kata Ang-toa jadi sengit dihadang begitu.
„Jika masih lapar, pergi engkau mencari uang untuk membeli makanan, jangan. seperti- sekarang seperti seorang perampok saja! Apakah engkau kira rumah makan ini milik ayah ibumu?”
„Aku sudah tidak memiliki ayah dan juga tidak memiliki ibu, aku anak yatim! Jika ayahku masih hidup, tentu aku juga tidak dihina seperti ini oleh kalian, karena aku akan memiliki uang dan menampari muka kalian dengan uang !” ejek Ang-toa.
Tetapi kedua pelayan itu tidak memperdulikan ejekan Ang-toa, mereka yang terpenting hanya menjaga anak ini jangan sampai bisa masuk kedalam rumah makan itu lagi.
Sedangkan Ang-wa merasakan perutnya masih berkeruyukan, maka dia melangkah terus untuk menerobos kedalam. Tetapi kedua pelayan itu tetap menghadangnya,’kedua lengan Ang-toa dicekal keras oleh kedua pelayan itu, dan dilemparkan keluar kembali.
Ang-toa masih terlalu kecil, usianya paling tidak delapan tahun. Sedangkan kedua pelayan itu bertubuh tinggi besar dan kuat, mana bisa Ang-toa melawannya ?
Tetapi dasarnya memang sangat nakal, Ang-toa tidak kenal takut. Begitu dilempar dan terguling ditanah, segera dia bangkit pula dan melangkah untuk masuk keruangan dalam rumah makan itu.
„Jika aku tidak diberikan makanan untuk mengenyangkan perutku ini, aku tetap akan masuk untuk mengacak-acak makanan para tamu…….” kata Ang-toa.
Tetapi kedua pelayan itu tidak memperdulikan ocehan anak itu, mereka selalu melemparkan tubuh Ang-toa setiap kali anak itu berusaha untuk masuk kedalam ruangan rumah makan itu.
Mereka memang memiliki tenaga yang kuat, maka Ang-toa selalu dapat ditemparkannya dengan mudah.
Ang-toa benar-benar tidak kenal takut, dia dilemparkan bergulingan, segera bangun dan melangkah lagi untuk masuk.
Keadaan seperti itu puluhan kali dilakukannya, sehingga kedua pelayan itu kewalahan juga, karena biarpun anak ini telah dilemparkan keras terbanting diatas tanah, tetap saja Ang-toa tidak kenal takut dan berusaha untuk masuk lagi.
Kedua pelayan itu setelah melemparkan Ang-toa sekian kalinya, telah saling pandang, salah seorang yang berdiri dikanan telah berkata : „Lebih baik anak ini diberikan saja sisa makanan yang tidak habis dilahap tamu, biar dia pergi saja…….. lama-lama jadi pusing kepalaku mengurusinya !”
Pelayan yang seorang lagi juga setuju dengan usul kawannya.
„Tunggu, aku akan mengambilkan makanan untukmu !” kata pelayan itu kepada Ang-toa.
„Oh engko yang baik hati, jadi kalian mau membagi makanan untukku ?” tanya Ang-toa.
„Ya, kau tunggu dulu…….. aku akan mengambilnya !” dan setelah berkata begitu, pelayan itu telah masuk kedalam sedangkan yang seorangnya lagi tetap berdiri menunggui pintu, sebab dia kuatir kalau-kalau nanti Ang-toa nekad masuk keruangan dalam lagi.
Tidak lama kemudian, tampak pelayan yang seorang itu telah membawa keluar sebungkus makanan yang campur-campur diberikan kepada Ang-toa.
Aag-toa menerima bungkusan makanan itu, dia membukanya, tetapi ketika melihat yang terbungkus itu adalah sisa makanan yang campur aduk dia jadi mendongkol, tahu-tahu bungkusan makanan itu telah dilontarkian kemuka pelayan itu, sehingga muka sipelayan jadi terbentur makanan itu yang berantakan kelantai.
„Engkau kira aku pengemis diberikan makanan sisa yang campur aduk seperti itu?” kata Ang-toa.
Sedangkan sipelayan yang mukanya penuh dengan nasi dan minyak sayur, telah habis kesabarannya. Tahu-tahu dia telah menggerakkan tangan kanannya menghantam muka Ang-toa.
„Bukk…….!” muka Aag-toa telah dipukulnya keras dan tubuh anak itu terjungkel kebelakang, kepalanya menghantam batu undakan anak tangga sehingga benjol seketika itu juga.
Tetapi Ang-toa tidak menjerit sama sekali, walaupun matanya masih berkunang-kunang, dia telah bangkit dan melangkah untuk masuk pula.
„Kalian minggir, biar aku saja yang mengambilnya sendiri !” seru Ang-toa dengan mata yang masih nanar, dia nekad sekali.
„Bukk,,,,!” kembali pelayan itu telah menghantam bahunya, sampai Ang-toa terguling-guling lagi.
„Engkau tidak mau pergi, biar kuhajar sampai kau mampus !” ancam pelayan itu dengan mendongkol sebab mukanya jadi kotor oleh, segala macam sayur. Sedangkan pelayan yang satunya hanya berdiri tertegun melihat kenekadan Ang-toa. Diam-diam didalam hatinya dia bersyukur bahwa tadi Ang-toa bukan melemparkan bungkusan sayur itu kepadanya, sehingga mukanya tidak perlu berlepotan minyak seperti kawannya itu.
Ang-toa tidak memperdulikan ancaman sipelayan, tahu-tahu dia telah menyeruduk dengan kepalanya, sehingga pelayan itu terjungkel, dan Ang-toa dengan mempergunakan kesempatan itu telah cepat-cepat melangkah masuk. Dia melihat disebelah kanan dari meja pertama, bertumpuk makanan bermacam-macam dan tampak dua orang tengah menikmatinya. Dengan gesit Ang-toa telah menyambar sepotong ayam panggang, dan semangkok sayur kuah.
Dia juga telah menyambar semangkok nasi, kemudian memutar tubuhnya untuk keluar. Sambil menggerogoti panggang ayam, Ang-toa meninggalkan rumah makan itu.
Kedua pelayan itu jadi berdiri bengong saja, mereka jadi takjub melihat kenakalan anak itu, yang telah dibanting, dipukul, tetapi tetap mengacak makanan tamu ! Sedangkan beberapa orang pelayan diruangan dalam telah cepat-cepat menggantikan makanan tar,nu yang tadi diambil oleh Ang-toa. Sedangkan kedua orang tamu itu hanya saling pandang, kemudian mengomel seorang diri karena sengit makanan mereka telah diambil oleh seorang anak lelaki seperti pengemis itu.
Sedangkan kasir rumah makan itu telah marah-marah dan mencaci maki kedua pelayan yang dikatakannya bodoh seperti kerbau, menghadapi seorang anak kecil seperti Ang-toa saja mereka tidak sanggup !
Pelayan yang seorangnya, yang mukanya kena ditimpuk dengan bungkusan sayur, telah menggumam dalam hatinya dengan mendongkol : „Kau tidak tahu saja anak itu anak sinting, jika engkau yang menghadapinya mungkin telah muntah darah, karena mendongkol……!” tetapi pelayan tersebut jelas tidak berani mengutarakan pikirannya itu. Dia telah ngeloyor masuk tanpa memberikan komentar apa-apa terhadap makian kasir tersebut.
Ang-toa sambil menggerogoti ayam panggangnya telah menyusuri jalan itu, dia telah memakan juga kuwah sayur itu dan-kemudian berhenti dibawah sebatang pohon untuk memakan nasinya. Akhirnya dia merasakan perutnya telah kenyang, sambil mengusap-usap perutnya yang menjadi buncit, Ang-toa telah melemparkan mangkok nasi dan sayur kuwah itu seenaknya saja, dia merebahkan dirinya dibawah pohon itu, untuk tidur !
Tetapi Ang-toa belum tidur terlalu lama, tahu-tahu pinggulnya ditendang seseorang, sampai Ang-toa terbangun dengan terkejut.
„Anak manis, mengapa engkau tidur di jalanan seperti itu ?” tanya seseorang.
Ang-toa mengucek-ucek matanya, dia melihat seorang pengemis berusia lanjut, mungkin lima puluh tahun, tengah berdiri mengawasinya.
„Hei kakek pengemis kurang ajar ! Mengapa engkau mengganggu tidurku ? Aku tidur disini apa halangannya denganmu, tokh tidak merugikan dirimu.
Ditegur begitu oleh Ang-toa, pengemis tua tersebut telah tersenyum sabar.
„Engkau tidak pantas dalam usia demikian muda harus terlunta-lunta seperti ini !
Mengapa engkau tidak pulang kerumah orang tuamu ?”
„Aku tidak memiliki ayah !”
„Dan ibumu ?”.
„Juga aku tidak memiliki ibu ! Sudah engkau jangan rewel, kakek pengemis aku masih mengantuk ingin menyambung tidurku…!” dan setelah berkata begitu, Ang-toa telah memejamkan malanya lagi, dia telah meringkuk untuk mereruskan tidurnya.
Tetapi pengemis tua itu sambil tersenyum telah mengayunkan kakinya lagi menendang pinggul Ang-toa, smpai Ang-toa melompat saking sengitnya.
„Mengapa engkau masih terus menggangguku ?” tegurnya dengan suara mendongkol.
„Aku bukan bermaksud mengganggumu, tetapi aku masih ingin menyampaikan pertanyaan kepadamu !”
„Pertanyaan apa ?”. tanya Ang-toa tambah sengit.
„Apakah tidak bisa nanti setelah aku bangun tidur…! “.
„Aduh, anak ini benar-benar galak sekali”, mengoceh pengemis tua itu.
„Apakah engkau melihat pakaianku seperti pengemis ini sehingga engkau berlaku galak seperti itu.
Aku mau tidur, kau dengar tidak? Aku mau tidur !!” teriak Ang-toa dengan suara keras karena dia benar-benar sangat mendongkol, apa lagi matanya memang sangat mengantuk sekali.
„Jika engkau mengantuk, tidurlah…!” kata pengemis tua itu sabar, sambil senyum-senyum mengawasi.. Ang-toa.
Tetapi Ang-toa sudah menggelengkan kepalanya.
„Tidurku telah gagal! Sekarang engkau katakan, pertanyaan apa yang ingin engkau tanyakan…?” tanya Ang-toa sambil mengawasi pengemis itu dengan sengit.
„Aku ingin bertanya kepadamu, apakah perutmu telah kenyang makan makanan yang kau rampas tadi ?” tanya sipengemis itu.
„Kau ?” tanya Ang-toa sambil mementang kedua matanya lebar-lebar.
„Kau tadi menyaksikan aku mengambil secara paksa makanan dirumah makan itu?”
„Ya, aku melihatnya…!” mengangguk sipengemis.
„Dan aku sekarang bertanya kenyangkah makanmu ?”
„Jika sudah kenapa ? Jika belum kenapa pula ?” tanya Ang-toa otak-otakan.
„Jika sudah kenyang, ya sudah…… tetapi jika engkau belum kenyang, aku masih menyimpan sedikit makanan……!” sambil berkata begitu sipengemis tua tersebut telah mengeluarkan dari sakunya sepotoag panggang bebek yang digerogotinya.
„Engkau mau tidak makanan ini ?” sambil mengunyah dia telah bertanya.
Ang-toa mengawasi panggang bebek yang telah semplak kena digrogoti oleh pengemis itu, dia berdiam diri sejenak.
„Engkau mengiler ?” tanya sipengemis.
Ang-toa menggelengkan kepalanya, dia bilang: „Tidak….! Tidak…..! Aku sudah kenyang”.
„Engkau jijik melihat-panggang bebekku ini ?” tanya sipengemis tua itu.
Ang-toa tidak menyahuti, dia hanya mengawasi panggang bebek ditangan pengemis itu.
„Katakan terus terang, engkau jijik atau tidak melihat, panggang bebekku ini?” tanya sipengemis tua itu lagi dengan suara mendesak.
Akhirnya Ang-toa mengangguk juga. „Apakah tidak kotor ditaruh dalam saku bajumu ?” tanya Ang-toa untuk mengalihkan persoalan.
„Hemm……, justru aku mengambil panggang bebek ini begitu selesai dimasak, tidak seperti engkau bersusah payah hanya dapat sedikit saja dari panggang ayam!
Itupun harus dibanting-banting dulu dirimu, dan engkau juga kena dipukul beberapa kali…!”.
Muka Ang-toa jadi merah.
„Engkau mengambil sendiri, aku juga mengambil sendirl” makanan yang kukeheadaki! sahut Ang-toa tidak mau kalah.
.„Ya, tetapi aku mengambil sendiri tanpa dipukul, sedangkan engkau mengambil sendiri tetapi kenyang dipukul dan dibanting…….!”
„Tetapi yang terpenting akhirnya aku bisa memperoleh makanan yang kuingini…!” menyahuti Ang-toa. „Lagi pula aku masih kecil, sedangkan engkau telah tua….. tentu saja aku tidak memiliki tenaga untuk menghadapi pelayan-pelayan itu……!”
Mendengar perkataan seperti itu, sipengemis tertegun.
„Tunggu nanti kalau aku sudah besar, aku tentu mengambil sendiri tanpa perlu dipukul dulu oleh pelayan-pelayan jahat itu……!”
„Hemm……, belum tentu! Jika engkau dikeroyok empat atau lima orang pelayan, tentu mukamu akan bengkak dan babak belur dulu, baru bisa memperoleh makanan yang kau ingini” kata sipengemis tua itu sambil senyum.
„Sedangkan aku tidak terkena pukul sama sekali ! Bahkan para pelayan itu sendiri tidak mengetahui bahwa makanan mereka telah berkurang dicuri olehku.
„Engkau memperoleh panggang bebek itu dengan mencuri ? Ciss…..!, aku justru, tidak mau menjadi pencuri, jika aku miau tentu aku akan memberitahukan mereka secara berterus terang, dan akupun akan mengambilnya didepan mata mereka !” .
„Sungguh kata-kata yang bersemangat sekali!” kata pengemis tua itu sambil tersenyum.
„Sekarang apa lagi yang hendak kau tanyakan ? Jika telah selesai, aku mau melanjutkan .tidurku……!” kata Ang-toa.
„Jika memang benar engkau bermaksud untuk tidur, tidurlah, mengapa engkau tidak mau tidur ?”membaliki bertanya sipengemis.
„Hemm……, tentu saja aku tidak bisa tidur karena digoda oleh engkau terus menerus…..!”
Mendengar perkataan itu, sipengemis tua itupun telah tersenyum sambil duduk dibalik batang pohon yang satunya.
„Eh, engkau juga mau tidur disitu ?” tanya Ang-toa agak kaget.
„Benar ! Kenapa ? Pohon ini bukan milikmu !” kata sipengemis itu.
„Tetapi… tetapi….” Ang-toa tidak bisa meneruskan perkataannya, dia hanya memgawasi sipengemis dengan sorot mata yang tajam, seperti juga anak itu tengah memikirkan sesuatu.
„Kenapa tetapi-tetapian begitu?” tanya sipengemis lagi.
„Jika aku tidur disini bersama-sama dengan engkau, nanti orang-orang mengira……. mengira aku ini……..”
„Menduga engkau pengemis juga?” tanya sipengemis tua itu memutusi perkataan Ang-toa.
Ang-toa telah berobah mukanya menjadi merah, karena isi hatinya telah diterka tepat sekali oleh pengemis tua tersebut.
„Benar !” sahutnya kemudian.
„Jika memang engkau ingin tidur disitu, biarlah aku pindah ketempat lain lagi !”.
„Hemm……,” sipengemis telah tertawa dingin, dia bilang: „Dengan engkau tidur dibawah pohon ini, dan pakaianmu yang kotor itu, sudah jelas orang akan menduga engkau sebagai pengemis kecil !”
Ang-toa tertegun, dan didalam hatinya dia mengakui kebenaran perkataan pengemis tua itu.
„Tetapi yang jelas aku bukan pengemis !” kata Ang-toa kemudian.
„Biarpun engkau berkata begitu seribu kali, tetapi. dengan keadaanmu yang mesum seperti itu dan lagakmu yang urakan, tentu engkau akan dianggap sebagai pengemis !
Aku berani bertaruh, bahwa engkau bukan manusia yang mudah menerima tuduhan orang, tetapi kepada siapa saja engkau bertanya, tentu mereka pertama-tama akan menduga engkau sebagai pengemis !”.
Ang-toa merasakan dia tidak mungkin menang bicara dengan pengemis tua itu, dia telah membalikkan tubuhnya, maksudnya untuk meninggalkan pengemis tua itu.
„Tunggu dulu, engkau jangan pergi dulu !” kata sipengemis.
Ang-toa jadi menahan kakinya, dia telah bilang: „Apa lagi yang engkau hendak katakan ?.”
„Aku ingin mengajak engkau untuk menjadi sahabatku ! Jangan takut, soal makan…… aku yang jamin engkau tidak akan lapar lagi………!”
Ang-toa jadi berdiri mematung. Dia mengawasi pengemis tua itu, dan pakaiannya yang penauh tambalan. Tetapi akhirnya Ang-toa berpikir didalam hatinya: „Lebih baik aku bersahabat dengan dia, bukankah aku tidak mempunyai ayah ibu lagi dan juga tidak memiliki rumah ? Memang benar apa yang dikatakan pengemis tua itu, jika dia mau menjamin makanan untukku, apa salahnya ?.”
Setelah berpikir begitu, Ang-toa berkata ragu-ragu.
„Tetapi aku tidak mau jika dibenkan makanan sisa……”
„Oh tentu saja tidak! Aku akan mengambilnya langsung dari dapur setiap rumah makan…….! Engkau tentu akan merasakan, betapa nikmat menjadi sahabatku…….!”
„Baiklah, aku mau bersahabat dengan kau…….!” kata Ang-toa sambil menganggukkan kepalanya.
Sipengemis tua itu tampaknya jadi girang, dia sampai melompat bangun.
„Nih kau terima dulu bebek panggang !” katanya sambil merogoh sakunya, dia telah mengeluarkan bebek panggang yang bulat, dan masih mengeluarkan asap yang cukup hangat ! Ang-toa jadi heran, ragu-ragu dia. mengulurkan tangananya dan dia merasakan bebek panggang itu masih hangat, maka dia percaya perkataan sipengemis tua bahwa dia mengambil langsung dari dapur rumah makan waktu bebek panggang itu baru matang.
Tanpa ragu-ragu lagi Ang-toa telah menggerogoti bebek panggang itu, dia telah mengunyah sambil bertanya : „Aku heran bagaimana caramu mengambil bebek panggang ini ?”
„Aku memiliki caraku sendiri, jika kelak engkau telah benar-benar menjadi sahabatku dan mau melakukan perjalanan bersamaku, maka aku akan mengajari engkau untuk mengambil makanan yang engkau ingini tanpa diketahui, oleh orang yang empunya…!”. . Tetapi Ang-toa telah menggelengkan kepa lanya.
„Tadi aku mengatakan mau bersahabat denganmu, bukan berarti aku bersedia melakukan perjalanan bersama-sama dengan engkau !”.
„Engkau tidak tertarik untuk mempelajari ilmu mengambil makanan tanpa diketahui pemiliknya ?” tanya pengemis tua itu.
Ang-toa, menggelengkan kepalanya.
„Sayang sekali aku tidak memiliki cita-cita untuk menjadi pencuri…!” menyahuti’ Ang-toa.
„Bukannya maling, tetapi engkau bisa memiliki kepandaian mengambil barang makanan yang kau ingini itu tanpa diketahui yang punya, bukankah lebih enak jika dibandingkan harus dipukuli dulu baru memperoleh?”
„Sudahlah, aku memang mau bersahabat dengan kau, tetapi jangan engkau memaksa aku untuk melakukan perjalanan denganmu !”
Sipengemis tua itu telah tersenyum, dia mengangguk-angguk saja.
Sedangkan Ang-toa setelah selesai menggeragoti panggang bebek itu, telah bangun berdiri, katanya: „Terima kasih atas pemberianmu itu, mudah-mudahan nanti kita bisa bertemu lagi.
Pengemis tua itu tidak terlalu memaksa lagi, dia hanya mengangguk mengiyakan.
Diawasinya Ang-toa yang sedapg melanagkah pergi.
„Seorang anak beradat keras dan memiliki bakat yang baik……!” menggumam pengemis tua itu dengan sikap yang bersungguh-sungguh, lalu dia menghela napas.
—oo0oo—
Waktu itu, Ang-toa telah menyusuri jalan itu, menikung beberapa jalur jalan, kemudian dia berhenti disebuah persimpangan jalan.
„Kemana aku mau pergi ?” pikir Ang-toa sesaat kemudian. „Atau lebih baik aku pergi tidur dikuil tua itu saja…!” dan setelah berpikir begitu Ang-toa menuju kepintu kota sebelah barat, dia telah menghampiri. sebuah kuil tua yang rusak disana-sini tidak terawat lagi. Dan Ang-toa memasuki kuil itu, lalu merebahkan tubuhnya dilantai disamping meja sembahyang yang sudah tidak terurus itu.
Kali ini Ang-toa dapat tidur dengan nyenyak, karena tidak ada orang yang mengganggunyal.
Tetapi menjelang sore hari, Ang-toa tersadar dari tidurnya, dia mendengar suara langkah-langkah kaki kuda yang tengah berlari mendatangi kearah kuil itu.
Ang-toa menggeliat dan kemudian duduk, dia mendengar derap langkah kaki kuda itu berhenti dan seseorang telah memasuki kuil rusak itu.
Ang-toa segera dapat melihat orang itu seorang siucai (pelajar) yang berpakaian rapih sekali. Usia siucai itu mungkin baru tiga puluh tahun, dia membawa pedang dipunggungnya.
Siucai itu juga rupanya telah melihat Ang-toa, maka dia telah berkata.: „Hei pengemis kecil; inikah kota-Bua-siong-kwan?”
„Berapa biji matamu, sehingga seenakmu saja memanggil aku pengemis kecil ?” balik tanya Ang-toa tanpa menyahuti pertanyaan sisiucai.
„Heeh ?” siucai itu jadi tertegun, dia jadi kaget ditegur begitu oleh Ang-toa, kemudian katanya dengan mendongkol : „Sudah tentu biji mataku sepasang ! Apakah salah jika aku memanggilmu dengan sabutan pengemis kecil ?”.
„Aku bukan pengemis !” menyahuti Ang-toa dengan mendongkol.
„Tetapi…pakaianmu kotor dan mesum, keadaanmu dekil sakali, bagaimana mungkin engkau tidak mengakui dirimu sebagai pengemis !”.
„Walaupun keadaanku kotor dan dekil, tetapi aku tidak pernah minta makan kepadamu…” meuyahuti Ang-toa dengan sengit.
Pelajar itu jadi tertegun lagi, tetapi kemudian dia telah tertawa keras, tertawa karena dia merasa lucu hari ini bisa bertemu dengan seorang anak lelaki kecil memiliki sifat seperti Ang-toa.
„Lalu panggilan apa yang sekiranya cocok untuk dirimu ?” tanya pelajar itu kemudian.
„Apa saja…bukankah engkau bisa memanggilku dengan nama engko kecil atau anak kecil, atupun lebih pantas dari pada engkau memanggilku dengan „sebutan sebagai pengemis kecil…!”.
„Jika memang demikian, baiklah !” kata pelajar itu mengalah. „Engko kecil, benarkah kota ini kota Bun-siong-kwan
„Benar !” menyahuti Ang-toa.
Pelajar itu jadi agak canggung, karena Ang-toa hanya menyahuti sepatah saja pertanyaannya itu.
„Mengapa engkau berada dikuil rusak ini ?” tanyanya kemudian.
„Jika engkau bertanya begitu, tanyakanlah dirimu sendiri mengapa engkaupun berada dikuil rusak ini…!”.
„Mulutmu ternyata jahat sekali, bocah!” kata sipelajar yang jadi habis kesabarannya. „Engkau rupanya kepala batu dan nakal sekali, sehingga diusir oleh orang tuamu, bukan ?”
„Ada urusan apa denganmu ? Aku diusir atau tidak itu urusanku sendiri……!”.
„Benar, tetapi keadaanmu yang dekil itu, persis seperti pengemis kecil..:!” dan setelah. berkata begitu tampak pelajar..tersebut telah mengeluarkan suara tertawa yang bergelak-gelak.
„Hemm………..”, mendengus Ang-toa sambil berdiri, dia meneruskan perkataannya : „Aku sudah mengatakan antara engkau dengan diriku tidak ada sangkutan apa-apa, mengapa engkau jadi demikian sibuk mengurusi diriku ? Aku mau memakai baju tambalan atau tidak, itu urusanku…..!” dan Ang-toa telah mementang kakinya, untuk meninggalkan kuil itu.
Tetapi sipelajar rupanya telah mendongkol oleh sikap yang diperlihatkan Ang-toa, dia telah melompat sambil mengulurkan tangannya mencengkeram baju belakang anak itu.
„Hei, apa yang hendak kau perbuat ?” teriak Ang-toa kaget, karena tubuhnya tahu-tahu telah melayang ditengah udara dan kemudian meluncur terbanting diatas lantai dengan keras bukan main.
Pandangan matanya jadi gelap dan nanar, karena bantingan itu bukan seperti bantingan dan lemparan para pelayan rumah makan.
Dengan teraduh-aduh memegangi pinggangnya yang sakit Ang-toa telah mengoceh : „Dasar pelajar tidak tahu aturan ! Mengapa engkau menyakiti aku seperti ini……..?”.
Pelajar itu telah mendengus, dia mengulurkan kakinya dan menendang tubuh Ang-toa, sehingga tubuh anak itu telah terpental lagi dan terbanting diatas Iantai dengan keras.
Kali ini Ang-toa tidak bisa segera bangkit. karena disaat itu dia merasakan kepalanya gelap, hampir saja dia jatuh pingsan.
„Bocah kurang ajar ! Jika engkau tidak mau meminta ampun dan maaf, maka engkau jangan………..menyalahkan diriku yang akan menyiksamu sampai tulang-tulangmu itu berantakan !” kata pelajar itu .
Sedangkan Ang-toa tidak bisa menyahuti, karena dia masih teraduh-aduh dan merangkak berdiri dengan tubuh yang sakit-sakit.
Dengan bersusah, payah Ang-toa telah berusaha untuk bangun, tetapi dia tidak bisa merangkak bangun disebabkan tulaag punggungnya terasa sakit dan matanya masih ber-kunang2.
„Engkau mau meminta ampun atau tidak?” tegur sipelajar.
„Tidak !” menyahuti Ang-toa keras, walaupun matanya masih berkunang-kunang, tetapi dia memang memiliki adat yang keras sekali.
„Apa ? Engkau tidak takut nanti kubanting sampai tulang-tulangmu berantakan bentak sipelajar.
„Tentu saja bisa kau lakukan, karena aku anak kecil dan engkau seorang yang dewasa, sehingga bisa saja engkau membanting diriku sekehendak haimu…..!” Memang Ang-toa nekad sekali, walaupun matanya masih berkunang-kunang, namun setiap perkataan pelajar itu selalu disahutinya.
Dengan demikian sipelajar jadi tambah se’ngit dan dia telah melompat kedekat Ang-toa, kemudian mengulurkan tangan kanannya mencengkeram baju anak itu, tubuh siapa tehlah diangkatnya untuk -dibantingkaii pula.
Namun belum lagi tubuh Ang-toa dibanting, disaat itu teglah terlihat sesosok bayangan berkelebat dan berteriak : „Jangan dibanting…!”.
Dan bukan hanya berkata saja;” bayangan itu juga telah mempergunakan sepotong kayu kecil untuk menyodok perut sipelajar.
Pelajar itu jadi kaget, dia mengeluarkan seruan sambil melompat mumdur, karena gerakan bayangan itu gesit sekali dan serangan kayu yang tipis keperutnya juga bukan serangan yang sembarangan, karena justru kayu yang kecil tipis itu mengincar jalan darah Ma-hiong-hiat didekat ulu hatinya. Kalau sampai jalan darahnya itu terkena sodokan kayu keeil itu, dia tentu bisa menemui maut…….
Sambil melompat, sipelajar telah melontarkan tubuh Ang-toa, tetapi pengemis itu tidak mendesak sipelajar, dia mempergunakan kayu yang tipis kecil itu untuk menggaet tubuh Ang-toa, sehingga anak itu tidak sampai terbanting lagi.
Ang-toa yang telah bisa berdiri, mementang matanya Iebar-Iebar, untuk girangnya dia mengenali pengemis tua yang telah mengajaknya bersahabat, itulah yang telah menolonginya.
„Eh………temananku!” panggil Ang-toa girang.
„Sebagai sabat engkau telah menolongi ku ! Sekarang aku minta engkau pukul pantatnya pelajar sombong. itu sepuluh kali!
Bisakahh engkau melakukannya ?”
Pengemis tua itu tersenyum.
„Tentu saja bisa…apa susahnya sih memukuli pantat sipelajar busuk yang hanya berani anak kecil saja ?”
Dan sambil berkata begitu: sipengemis tua telah melompat, dengan gerakan yang cepat sekali, sehingga Ang-toa tidak bisa melihat dengan jelas.
Dan yang kaget adalah sipelajar yang telah berseru.
Tetapi suaranya belum lagi habis diucapkannya, tahu-tahu punggungnya telah terdorong sesuatu, sehingga dia jatuh ter-jereambab, walaupun kedua kakinya telah memasang kuda-kuda yang kuat mencegah tubuhnya terjerunuk, tidak urung dia terjerambab juga.
Disaat itulah pinggulnya jadi sakit sekali, karena sipengemis telah memukuli pantatnya dengan mempergunakan kayu kecil tipis itu.
Walaupun kecil dan tipis, tetapi kayu itu ditangan sipengemis tua seperti telah……,berobah menjadi sebatang baja yang kuat sekali.
Sipelajar berusaha untuk meronta, tetapi kaki kanan pengemis tua itu telah menginjak pinggangnya, maka pelajar itu jadi tidak berkutik sama sekali.
Cepat sekali sipengemis tua telah memukul sepuluh kali pinggul pelajar itu, kemudian dia telah melompat kesamping Ang-toa.
„Sahabatku, aku telah membantuimu membayar lunas penasaranmu dengan memukul dia sepuluh kali sabetan ! Kau puas belum ?”.
„Puas …..! Puas…..,!” menyahuti Ang-toa dengan sikap girang.
Sedangkan sipelajar telah merangkak bangun dengan muka yang pucat, dengan sikap takut-takut dia teiah berkata tidak begitu jelas : „Kalau….., kalau…… tidak salah Boanpwe (tingkatan yang lebih muda) tengah berhadapan dengan le Hong Sin Kay Locianpwe ?”
„Tidak salah ! Aku memang Ie Hong Sin Kay (Pengemis Sakti Dengan Pakaian Burung Hong) menjahuti sipengemis. „Aku bergelar le Hong Sin Kay karena pakaianku yang tambal sulam dengan warna-warni yang menarik ini …… bukankah sama seperti warna-warna dibulu burung Hong?”
Muka sipelajar semakin pucat, dia telah merangkapkan, kedua tangannya menjura memberi hormat, sikapnya ketakutan sama sekali : „Maafkan……Boanpwe…… karena Boanpwe tidak tahu bahwa anak itu sahabat Locianpwe …. maafkan Boanpwe Thung Liu Cie…..!!”
„Hemmm……….., apakah kau masih bisa hidup jika aku tidak memaafkan dirimu ….?” menegur sipengemis dengan suara yang perlahan.
Tetapi pelajar itu jadi girang, dia telah menghaturkan terima kasih berulang kali : „Terima kasih atas pengampunan Locianpwe …. ijinkan Boanpwee……berlalu ….”
Dan tanpa berani menoleh lagi, pelajar itu telah melangkah keluar dari ruangan kuil itu, tidak lama kemudian terdengar suara larinya kuda tunggangannya.
Sedangkan Ang-toa jadi heran melihat sikap sipelajar yang begitu ketakutan kepada pengemis tua .:
„Sahabatku,.*sebenarnya siapa sih engkau ini sehingga pelajar busuk yang. jahat itu ketakutan kepadamu ?” tanya. Ang-toa kemudian sambil mengawasi sipengemis tua.
Pengemis tiu itu tersenyum.
„Sama seperti engkau juga…….” sahutnya.
„Sama seperti aku bagaimana ?” tanya Ang-toa tidak mengerti,
„Bukankah engkau walaupun usiamu demi kian muda belia, tetapi anak-anak yang lebih tinggi usianya darimu juga ketakutan jika melihatmu ? Nah, sama seperti keadaanmu itu, pelajar itu juga akan ketakutan jika melihat aku…….!”
Mendengar keterangan sipengemis, Ang-toa jadi tidak bisa menahan tawanya,
„Mengapa engkau tertawa ?” tanya sipengemis tua le Hong Sin Kay.
Aku merasa lucu, keadaan kita hampir sama”, kata Ang-toa. ,,Kau ditakuti oleh oraag-orang yang telah dewasa, sedangkan aku ditakuti anak-anak sebayaku…!”.
„Tentu saja, engkau seorang anak yang nekad dan tidak perduli akan jiwamu sendiri tiap melakukan tindakan…..!” menyahuti sipengemis tua itu. „Nah, bukankah dengan mengikat tali persahabatan denganktu engkau tidak rugi ?”
„Benar !”.
,,Apa lagi engkau mau, mempelajari ilmj mengambil makanan tanpa diketahui oleh pemiliknya, maka engkau lebih tidak rugi Iagi…!” kata pengemis tua itu.
Walaupun nakal, tetapi Ang-toa memiliki otak yang sangat cerdas sekali. Dia telah melihat pengemis tua ini ditakuti sekali oleh pelajar itu, dan juga tadi sekali lompat saja dia telah bisa menghukum pelajar yang bernama Thung Liu Cie itu, maka Ang-toa telah menekuk kakinya, dia telah berlutut dihadapan pengemis itu.
„Terima kasih atas bantuan lopeh, dan maukah lopeh mengambil aku menjadi murid untuk mempelajari ilmu yang dimiliki lopeh ?” tanya Ang-toa.
„Oh tentu saja mau, bukankah sejak bertemu aku telah menegaskan, kalau saja engkau mau mempelajari ilmuku, tentu engkau tidak selalu menerima hinaan…!” menyahuti le Hong Sin Kay. „Tetapi untuk menjadi muridku, engkau harus mentaati beberapa persyaratan dari pintu pergu uanku………..”
Apa syarat-syaratnya itu, lopeh ?” tanya Ang-toa.
„Engkau harus menjunjung tinggi nama perguruanmu, tidak boleh mendatangkan malu dengan sikap pengecutmu, walaupun menghadapi kematian, tetapi jika memang membela yang benar, engkau tidak boleh menyerah ! Untuk itu aku percaya engkau bisa mentaatinya, karena aku telah menyaksikan sifat-sifatmu beberapa saat yang lalu……!
Yang kedua, engkau harus menuruti setiap perkataanku, tidak boleh membantah !
Jika engkau membantah petunjukku, maka engkau akan menerima hukuman yang tidak ringan……!”
„Tentu saja jika lopeh telah menjadi guruku, maka aku-harus menuruti setiap petunjuk dan kata-kata lopeh, mana mungkin aku berlaku kurang ajar kepada guruku !” kata Ang-toa. .
„Bagus ! Dan syarat ketiga., engkau tidak boleh mengandalkan kepandaianmu untuk menghina yang lemah, tidak boleh terlalu mudah membinasakan seseorang lawan, dan juga tidak, boleh melakukan perbuatan-perbuatan buruk”
„Jika memang peraturan itu untuk mendidik aku menjadi anak yang baik dan tidak melakukan perbuatan-perbuatan yang buruk, tentu saja harus dipatuhi! Tetapi ada satu yang tidak bisa kupatuhi, jika memang lopeh me minta aku menjadi pencuri-makanan…….!”
Mendengar perkataan Ang-toa, sipengemis jadi tertawa bergelak-gelak:
„Soal itu kita tidak usah bicarakan sekarang, aku juga tidak memaksa engkau men jadi pencuri makanan, hanya mengambil makanan tanpa setahu yang empunya…!”.
„Itupun sama saja lopeh, suatu perbuatan pencuri juga !” kata Ang-toa.
„Ya…., ya,,,,,, nanti bila engkau telah lebih besar dari sekarang engkau bisa mengerti apa maksudku ! Dan syarat satunya lagi, yaitu engkau harus menjadi anggota Kaypang, yaitu perkumpulan pengemis……..! “
„Itu…….itu.. ……..”
Melihat Ang-oa ragu-ragu sipengemis telah tertawa lagi.
„Sebelum engkau, aku telah menerima murid lain orang, dan mereka semuanya telah masuk menjadi anggota Kaypang…….” menjelaskan calon guru itu.
„Tetapi…….aku harus berpakaian sebagai pengemis setiap hari?” tanya Ang-toa kemudian. ,,Benar ! Enkau keberatan?”
„Tentu saja…nanti semua orang memanggil aku sipengemis ?”
„Begitulah…….!” mengangguk le Hong Sin Kay.
„Memang selanjutnya semua orang akan memanggil kau sebagai pengemis!
Tetapi engkau tidak boleh memiliki pikiran bahwa menjadi pengemis tidak dihormati orang, asal engkau selalu melakukan perbuatan baik, pasti hasilnya juga akan menjadi baik ! Jika engkau selalu berdiri digaris keadilan, maka engkau akan disegani kawan dan lawan !
Seperti tadi pemuda Thung Liu Cie, dia telah menghormati dan ketakutan melihat diriku ! Bukankah engkau ‘telah’ menyaksikan sendiri ?”
Mendengar perkataan sipengemis tua Ie Hong Sin Kay, Ang-toa telah mengangguk angguk beberapa -kali mengiyakan.
„Baiklah, aku bersedia untuk menjadi anggota Kay-pang!” kata Ang-toa, kemudian sambil menganggukkan kepalanya.
„Dan sekarang kita sembahyang pengangkatan guru dan murid…!” kata Ie Hong Sin Kay mengajak Ang-toa kedekat meja sembahyang. Dia mengeluarkan bibit api, membakar sisa lilin yang masih ada dimeja sembahyang, lalu mereka menjalani peradatan untuk pengangkatan guru dan murid.
Ang-toa telah berlutut. dihadapan sipengemis dan berkata mengangkat sumpah „Jika memang aku Ang-toa berani kurang ajar dan menghianati perkumpulanku, Kaypang, biarlah tubuhku tidak diterima bumi dan langit dan dibacoki oleh ratusan ribu golok dan pedang..,,,,,.!”
„Bagus ! Bangunlah muridku……. dan untuk selanjutnya engkau harus belajar yang-rajin, agar kelak dengan mempergunakan kepandaianmu engkau bisa mengangkat nama baik Kaypang…….”
Ang-toa juga telah memberi hormat sambil memanggil „Suhu !” tiga kali. Selesailah sembahyang pengangkatan guru dan murid itu.
—oo0oo—
BAGIAN 02
ANG CIT KONG

SEEKOR kuda tengah berlari dengan cepat memasuki kota Bun-siong-kwan, penunggang kuda itu seorang pemuda pelajar. Dialah Thung Liu Cie.
Dia telah bertanya-tanya kepada para penduduk, dimana letak gedung Tiekwan (hakim) dikota tersebut, atas petunjuk penduduk kota itu akhirn-ya Thung Liu Lie telah tiba digedung Tiekwan yang mewah dan megah sekali.
Seorang Kee-teng (pesuruh) telah keluar sambil menyambuti tali les kuda sipemuda pelajar itu.
„Lopeh (paman) apakah ini gedung Tiek-wan ?” tanya pelajar itu.
„Benar Kongcu, apakah Kongcu ingin menyampaikan suatu pengaduan ?”
„Bukan…….engkau tolong beritahukan, keponakan Tiekwan Thung Siang Bun yang bernama Thung Liu Cie ingin datang menghadap mengunjuk hormat…….!”
Mendengar Thung Liu Cie adalah keponakan dalam dari majikannya, Kee-teng itu jadi memperlihatkan sikap yang hormat sekali.
„Mari silahkan masuk! Kongcu….. Mari silahkan masuk !” dia mempersilahkan tamunya itu, yang diajaknya keruang tamu. Kemudian dia meninggalkan tamu itu sejenak, untuk masuk kedalam memberikan laporan kepada majikannya.
Tidak lama kemudian tampak keluar seorang lelaki bermuka agung dan angker, bertubuh besar dan agak gemuk, dia telah. melangkah keruang tamu.
Thung Liu Cie cepat-cepat bangun dari duduknya dan menjura memberi hormat sambil panggilnya : „Siok-siok!”
„Hemm…….., apa maksumu mencariku kemari tanya sang paman itu, yang menjabat kekuasaan sebagai Tiekwan dikota ini.
„Siok-siok, ibu telah meminta agar Tit-lie membawa surat ini untuk Siok-siok……..!” sambl berkata begitu, Thung Liu Cie telah mengeluarkan segulung surat, diangsurkan dengan kedua tangannya, sikapnya hormat sekali.
„Bagaimana keadaan ayahmu, apakah sehat-sehat saja. ?” tanya Tiekwan she Thung itu.
Ditanya begitu, wajah Thung Liu Cie jadi berobah murung
„Baru dua bulan yang lalu Ayah menutup mata ………… ” dia menjelaskan dengan kepala tertunduk.
„Apa………….” tanya Tiekwan she Thung itu yang terkejut mendengar kakaknya telah meninggal. „Mengapa aku tidak diberitahu………..?”
—oo0oo—-
SEKARANG ini ibu telah memerintahkan agar aku memberitahukan kepada Sioksiok ! Dulu kami tidak memberi khabar karena takut mengganggu kesibukan Siok-siok…”.
„Hemmm…………”, dan Thung Tiekwan telah membaca surat dari enso, iparnya itu.
Selesai membaca surat itu, Thung Tiekwan telah menggulung kembali surat itu, dia memasukkan kedalam saku jubahnya, kemudian mengawasi keponakannya itu.
„Engkau memiliki ilmu silat dan surat…?” tanyanya.
„Benar Siok-siok ! Hanya sedikit-sedikit !” menyahuti Thung Liu Cie.
„Ibumu meminta agar aku memasukkan engkau bekerja sebagai pegawai pemerintah, agar kelak tahun depan engkau bisa mengikuti ujian Conggoan !”
,,Itupun telah diceritakan ibu kepadaku…” kata Thung Liu Cie.
„Baiklah, untuk sementara ini-engkau membantu-bantu aku dulu…….! Karena menurut ibumu engkau memiliki ilmu silat yang lumayan, maka engkau kuangkat sebagai pimpinan dari pasukan keamananku………! Maukah engkau menerimanya?”
„Tentu saja Siok-siok…!” kata Thung Liu Cie. Bahkan aku sangat berterima kasih sekali jika memang Siok-siok mau menerimaku bekerja dikantormu ini………! Terima kasih Siok-siok…….!”.
„Hemm………, mulai besok engkau baru mengurusi pekerjaanmu, sekarang pergilah engkau beristirahat dulu!” dan setelah berkata begitu, Thung Tiekwan telah menoleh kepada Kee-teng yang diperintah mempersiapkan kamar untuk keponakannya ini.
„Hiantit (keponakan), engkau mengasolah dulu, jika ada sesuatu yang engkau perlukan, minta saja pada Ouw Kee-teng (pesuruh Ouw)…….”
„Terima kasih Siok-siok…….!”. .
Begitulah. Thung Liu Cie telah diajak Kee-teng she Ouw itu kesebuah kamar yang terletak dibelakang gedung, tetapi kamar itu rapih dan bersih, disamping diisi oleh benda-benda yang antik dan mahal harganya, sebab Thung Tiekwan merupakan seorang hakim yang memiliki kekayaan banyak sekali.
Setelah dua hari mengasoh, malam ketiganya Thung Liu Cie mulai melakukan tugasnya, dia telah berjaga malam bersama beberapa orang pengawal, keselamatan Tie,kwan she Thung tersebut.
Malam itu sepi dan hening telah lewat, begitu juga malam-malam berikutnya, tidak pernah terjadi urusan yang aneh dan lain dari biasanya. Setelah bekerja satu bulan digedung pamannya Thung Liu Cie mulai merasa bosan. Untuk mengisi kesepian dimalam hari, dia sering membaca buku-buku syair kuno.
Tetapi suatu malam, disaat dia tengah mengantuk dan memaksakan matanya membaca buku-buku syair kuno, tiba-tiba pendengarannya mendengar suara yang tidak wajar, seperti juga ada orang yang tengah berjalan diatas genting.
Dengan gerakan yang gesit, Thung Liu Cie telah melompat keatas genting, dia melihat sesosok bayangan hitam tengah berkelebat-kelebat melakukan perjalanan diatas genting gedung Tiekwan.
Dengan segera Thung Liu Cie ‘telah mencabut pedangnya, dia mengejarnya.
„Berhenti..:!” bentaknya. „Apa yang tengah engkau lakukan ?”
Bayangan hitam itu rupanya terkejut mendengar bentakan Thung Liu Cie, dia telah menoleh. Ternyata sosok bayangan hitam itu bertubuh kecil dan pendek, dan waktu Thung Liu Cie menegaskan, dia jadi kaget, karena sosok bayangan itu tidak lain Ang-toa, anak yang pernah dibanting-bantingnya beberapa bulan yang lalu dikuil rusak diluar kota, yang kemudian diketahuinya sebagai sahabat sipengemis tua Ie Hong Sin Kay.
„Kau ?” tanyanya kemudian dengan suara yang ragu-ragu
Ang-toa nyengir, katanya: „Perutku sedang lapar, aku ingin mencari makanan… apakah engkau menyimpan makanan yang lezat ? Bagi aku sedikit, ya……..!”.
„Engkau ingin meminta makanan……..?” tanya Thung Liu Cie sambil tersenyum sinais. „Dulu engkau mengakui dirimu bukan pengemis………!”.
„Sekarang dengan dulu lain dan ada perbedaannya. Dulu waktu aku bertemu dengan engkau memang aku bukan pengemis, tetapi setelah itu, aku bersedia untuk masuk sebagai anggota Kay pang !
Maukah engkau membagi makanan untukku ?”
„Mana…mana itu Ye Hong Sin Kay Locianpwe?”
Apakah tidak ikut serta denganmu ?”.
„Guruku tengah menunggui dikuil rusak tempo hari, dan memang sudah menjadi kewajibanku untuk mencari makanan…….!” kata Ang-toa sambil tersenyum.
„Jad…i.., jadi Ie Hong Sin Kay itu gurumu? Dulu kalian mengatakan hanya bersahabat…….!” kata Thung Liu Cie bimbang.
„Justru setelah bertemu dengan engkau dan aku ditolongi, maka sejak saat itu kami telah mengangkat murid dan guru !” menjelaskan Angtoa.
„Tunggu sebertar, aku akan mengambilkan engkau makanan yang kau kehendaki…!” bergitulah Thung Liu Cie telah melompat turun dan perintahkan seorang kee-teng untuk membungkus ayam panggang dan bebek panggang, dicampur dengan sayur kering dan dua bungkus nasi.
Dibawanya semua itu keatas genting dan diserahkannya ‘kepada Ang-toa.
„Terima kasih engko yang baik…… aku tidak bisa lama-lama disini, karena guruku juga tengah menantikan pulangnya aku dengan perut yang herkeruyukan……..!”.
Thung Liu Cie mengiyakan, dan mengawasi kepergian anak itu. Dia melihat ginkang (ilmu meringankan tubuh) yang dimiliki Ang-toa masih rendah sekali, itulah sebabnya tadi Thung Liu Cie bisa mendengar suara langkah kakinya. Tetapi dengan bisa melompati genting yang satu kegenting yang lainnya, Ang-toa cukup lumayan hanya dalam beberapa bulan telah bisa memiliki ginkang seperti yang telah dimilikinya, apa lagi usianya memang masih sangat muda, mungkin baru delapan tahun.
Setelah keluar dari gedung Tiekwan, Ang-toa berlari-lari dengan cepat menuju kekuil rusak disebelah luar pintu kota. Didalam kuil rusak itu tampak le Hong Sin Kay tengah rebah tidur.
Begitu mendengar suara langkah kaki muridnya, pengemis tua itu telah melompat bangun sambil bertanya : „Berhasilkah, Ang-toa ?”.
„Berhasil Suhu…!” menyahuti Ang-toa.
„Aku mengambilnya digedung Tiekwan !”
„Edan kau ! Mengapa mendatangi gedung macan ?
Bukankah jika engkau tertangkap aku yang akan repot ?
Mengapa tidak mengambiinya dirumah-rumah makan saja…….?”
Tetapi yang terpenting aku telah berhasil, suhu !” menyahuti Ang-toa.
Dan kemudian Ang-toa telah membuka dua bungkusan besar itu, mata Ie Hong Sin Kay jadi terpentang lebar-lebar.
„Hebat juga engkau, sekarang telah bisa mengambil dengan ilmu yang kuajarkan…!” kata Ie Hong Sin Kay sambil tersenyum.
„Bukan suhu……!” membantah Ang-toa.
„Eh, kenapa bukan ?”
„Aku bukan mengambilnya sendiri……..”
„Lalu ?”
„Aku masih mempergunakan caraku yang lama, yaitu meminta kerelaan orang untuk memberinya…!” menjelaskan Ang-toa.
„Memangnya digedung Tiekwan itu engkau bertemu dengan siapa sehingga orang itu baik.hati memberikan demikian banyak makanan kepadamu ?”
„Yang menjaga malam adalah orang she Thung yang pernah dihajar oleh suhu dikuil ini…….. dia yang telah memberikannya !”
Mendengar begitu, Ie, Hong Sin Kay tertawa bergelak-gelak.
Begitulah guru dan murid telah bersantap sambil bercakap-cakap dengan gembira.
Rupanya Ie Hong Sin Kay juga seorang pengemis yang kuat makannya, terbukti makanan dan nasi yang begitu banyak telah dapat dihabiskannya berdua dengan muridnya.
le Hong Sin Kay adalah seorang pengemis yang terkenal sekali didalam rimba persilatan, karena bukan kepandaiannya saja yang tinggi, diapun merupakan Pangcu dari Kaypang. Hanya saja, tugas untuk mengurus perkumpulan Kaypang itu telah diserahkan kepada keenam orang muridnya ! Dan sudah sepuluh tahun lamanya Ie Hong Sin Kay mengembara dari kota yang satu kekota lainnya, dia telah banyak melakukaa perbuatan-perbuatan amal kebajikan menolongi orang-orang yang tengah dalam kesulitan dan tertindas.
Sehingga nama Ie Hong Sin Kay yang sebenarnya bernama Kiauw Cie Bauw, sangat disegarii oleh orang-orang yang melakukan pekerjaan berdagang tanpa modal, yaitu ‘perampok.
Waktu dia berada dikota Bun-siong-kwan inilah kebetulan sekali dia melihat Ang-toa, yang senang sekali menjitaki kepala anak-anak sebaya dengannya, dan karena tertarik, Kiauw Cie Bauw telah mengikuti Ang-toa sampai dia ‘bisa melihat bagaimana Ang-toa memaksa untuk mengambil ayam panggang dan telah dibanting dan dilempar para pelayan itu, namun Anak au terus juga nekad ingin memasuki ruang rumah makan itu.
Betapa kagum hati Kiauw Cie Bauw melihat sifat anak yang keras hati itu. Diapun melihat Ang-toa memiliki bakat dan tulang yang baik untuk dididik ilmu silat.
Itulah sebabnya Kiauw Cie Bauw telah memperlihatkan diri dan mengajak mengikat tali persahabatan. Kemudian sampai dia akhirnya menolongi anak itu, yang diakhiri dengan pengangkatan guru dan murid diantara mereka- berdua.
Sejak saat itu Kiauw Cie Bauw telah mendidik Ang-toa ilmu pukulan dan ilmu meringankan tubuh. Semuanya baru merupakan dasarnya saja.
Tetapi dugaannya memang tidak meleset, bahwa Ang-toa memiliki tulang dan bakat yang baik, begitu diajarkan, segera dia bisa menguasai
jurus-jurus yang diturunkannya, sehingga Kiauw Cie Bauw semakin bersemangat, dia telah menurunkan beberapa macam kepandaian lainnya lagi.
Setelah tiga bulan lamanya mereka berdua berdiam dikuil rusak itu, urusan mengambil makanan mulai diserahkan kepada Ang-toa, karena Kiauw Cie Bauw bermaksud untuk menguji muridnya itu.
Tetapi malam pertama Ang-toa melakukan operasinya untuk mengambil barang makanan tanpa setahu pemiliknya, dia tiba digedung Tie-kwan, dan tidak tertluga justru bertemu dengan Thung Liu Cie, sehingga dia berhasil membawa pulang makanan dalam jumlah yang banyak itu.
Hari-hari berikutnya. juga Kiauw Cie Bauw perintahkan muridnya itu untuk mengambil makanan. Semakin lama Ang-toa semakin bisa melaksanakan tugasnya dengan baik, sehingga gurunya percaya ginkang Ang-toa telah mengalami kemajuan yang pesat.
Ang-toa juga! rajin sekali melatih diri, dia telah merasakan paedahnya berguru dengan Kiauw Cie Bauw, karena dalam beberapa bulan saja dia mulai dapat melompat keatas genting rumah penduduk, dimana dia bisa berlari-lari dengan gesit digenting-genting rumah penduduk. Melihat kemajuan yang pesat itu, Kiauw Cie Bauw yakin, dalam lima atau enam tahun, Ang-toa tentunya akan memiliki kepandaian yang cukup tinggi, setidak-tidaknya separoh kepandaian sang guru ini akan dapat dikuasainya. Dengan demikian Ang-toa sangat disayang oleh gurunya itu.
„Engkau merupakan murid terbungsu, karena keenam saudara-saudara seperguruanmu telah berusia diatas tiga puluh tahun, mereka telah mempelajari sebagian besar dari kepandaianku. Tapi waktu mereka belajar ilmu silat dibawah bimbinganku, kemajuan mereka sangat lambat sekali, tidak seperti engkau yang bisa meniguasai setiap jurus dengan cepat. Dan engkau merupakan murid penutup juga, maka engkau harus rajin-rajin melatih diri, jangan sampai nanti membuat coreng dimukaku…… aku tidak mau jika kelak engkau telah berhasil mempelajari kepandaianku, lalu engkau rubuh ditangan seorang bubeng siauwcut, yaitu maling kecil tidak bernama.
Kau mengerti Ang-toa ?”
„Mengerti Suhu ……. jangan kuatir tentu aku akan berusaha untuk dapat melatih diri dengan baik, sehingga kelak aku tidak akan mendatangkan malu terhadap nama suhu yang harum…!”
„Akh…….., kata-katamu seperti seorang pelajar saja !” kata Ie Hong Sin Kay Kiauw Cie Bauw: „Engkau bilang saja suhu, aku tidak akan melakukan perbuatan buruk. Itupun sudah lebih dari cukup. Atau engkau bilang juga :„Suhu, aku akan menjaga nama Kaypang”. Tidak perlu. engkau bicara panjang lebar seperti itu…!”.
Ang-toa tertawa, dia merasakan sifat gurunya hampir sama dengan sifat-sifatnya sendiri, yang senang blak-blakan, maka semakin senang saja dia berguru kepada pengemis tua yang liehay kepandaiannya ini.
„Dan karena engkau, merupakan muridku ,yang ketujuh, dan engkau juga merupakan murid penutup, maka namamu yang Ang-toa itu kurobah, sekarang bukan si Ang yang tua, tetapi engkau memiliki nama Ang Cit Kong………!” „…. nama yang bagus sekali suhu !”
„Nah, dengan memakai nama Cit Kong dan mempergunakan terus she-mu, berarti lengkaplah namamu…….!” kata Kiauw Cie Bauw.
Ang-toa yang kini telah memiliki nama Cit Kong, telah mengucapkan terima kasih kepada gurunya yang telah memberikan nama kepadanrya. Ie Hong Sin Kay Kiauw Cie Bauw tampak sangat menyayangi muridnya yang bungsu ini, dia telah menurunkan seluruh ilmu silatnya.
Setahun saja Ang Cit Kong telah menerima belasan macam ilmu silat Kiauw Cie Bauw. Begitulah, untuk seterusnya Ang Cit Kong telah mengikuti gurunya Ini mengembara, setiap ada kesempatan, Kiauw Cie Bauw tentu meddidik muridnya dengan berbagai ilmunya dan Ang Cit Kong juga selain gemar berjenaka, dia merupakan seorang anak yang rajin, maka setiap jurus yang diajari oleh gurunya dapat dipahaminya dengan cepat.
Seringkali Kiauw Cie Bauw berkata kepada muridnya yang bungsu itu: „Cit Kong, engkau harus melatih diri deggan giat, karena engkau sebagai murid penutup dari pintu perguruanku, jika sampai engkau gagal melatih diri dan kelak diperhina orang, akan menyebabkan pamor gurumu jatuh. Maka dari itu, jika engkau memiliki waktu senggang, engkau harus melatih diri terus, agar lebih cepat lagi engkau bisa menguasai ilmu Kaypang. Nanti akupun akan mengajari ilmu tongkat butut Kaypang kami yaitu Tongkat Pemukul Anjing. Engkau jangan melihat dari namanya ilmu tongkat itu, tetapi justru ilmu tongkat itulah merupakan kepandaian yang sampai sekarang ini jarang ada yang bisa menandinginya…!”. ,
„Jangan kuatir suhu, aku tentu tidak akan mensia-siakan kepercayaan suhu yang telah menurunkan berbagai kepandaian kepadaku! Jelas aku akan berusaha mempelajari dan melatih diri dengan giat, agar kelak aku tidak perlu mendatangkan malu untuk pintu perguruan suhu…….!” kata Ang Cit Kong dengan suara yang mengandung tekad yang kuat. Karena dia percaya, kepandaian gurunya sangat tinggi sekali, sebab baru setahun lebih dia melatih diri dibawah asuhan Kiauw Cie Bauw, dia sudah bisa memukul rubuh orang-orang dewasa bahkan selama itu pekerjaan mencari makanan dilakukan oleh Ang Cit Kong. Lompatan yang bisa dilakukannya juga sangat ringan sekali, melompat keatas genting rumah penduduk dapat dilakukan dengan mudah, karena ginkangnya telab lumayan. Bahkan jika baru jago-jago yang memiliki kepandaian tanggung jangan harap bisa merubuhkan Ang Cit Kong, karena dalam setahun lebih Ang Cit Kong telah berhasil menguasai beberapa jurus penting dari ilmu silat bertangan kosong yang diturunkan oleh Kiauw Cie Bauw.
Karena telah setahun lebih selalu bersama-sama dengan Kiauw Cie Bauw, akhirnya Ang Cit Kong sudah tidak canggung lagi memakai pakaian tambalan dan juga membawa sikap sebagai, pengemis kecil. Namun dalam usia sepuluh tahun seperti itu Cit Kong bukan sembarangan pengemis kecil, dia mulai memiliki kepandaian yang lumayan tingginya.
—oo0oo—
BAGIAN 03
HA-MO-KANG

HUJAN turun sejak pagi tadi, tetapi sore hari hujan mulai kecil dan hanya rintik-rintik saja. Tetapi dipinggir sawah dijalan raya diluar kota Siung Kang, tampak seorang anak lelaki berusia sebelas tahun tengah duduk terpekur dimana dia mengawasi titik-titik hujan yang turun ditengah-tengah sawah itu. Lama dia duduk ditepi jalan membiarkan tubuhnya di basahi oleh air hujan itu, anak ini seperti tidak memperdulikan. Rambutnya yang basah kuyup dan pakaiannya yang telah basah juga, semuanya tidak diacuhkan oleh anak itu. Dia sesungguhnya tengah mengawasi seekor katak yang melompat-Iompat diantara sawah itu.
„Enak sekali jika aku bisa menjadi seperti katak itu, hidup bebas dan mau kemana pergi tidak ada yang larang…!” berpikir anak itu. sambil menghela napas.
Walaupun usianya masih kecil, sebelas tahun, anak ini berpakaian mewah sekali. Dari cara berpakaiannya itu jelas anak ini bukan anak sembarangan, setidak-tidaknya dia putera dari seorang hartawan kaya. Bahan pakaiannya terbuat dari bulu Tiauw, dengan sepatu bulu musang, dan juga jubah luarnya yang telah basah itu terbuat dari sutera berwarna kuning telur.
Tetapi anehnya anak ini membiarkan dirinya dibasahi oleh air hujan, dia telah berdiam diri saja.
„Auwyang Kongcu……! Auwyang Kongcu……!” tiba-tiba dikejauhan terdengar suara orang memanggil-manggil, suaranya yang terdengar samar-samar menyatakan orang yang memanggil-manggil itu masih, terpisah cukup jauh. „Dimana kau, Auwyang Kongcu?”
Anak kecil itu mendengar suara panggilan itu, dia menghela napas.
,,Belum lagi aku puas menonton katak-katak itu berlompatan, sudah. datang-sihitam ini….” menggumam anak itu, yang ternyata dialah : Auwyang Kongcu, majikan muda she Auwyang.
Orang yang berteriak-teriak telah tiba ditempat itu, dia melihat majikan kecilnya sedang duduk dipematang sawah dibawah siraman air hujan. Cepat-cepat lelaki berusia antara tiga pualuh tahun bermuka hitam itu telah menghampiri.
„Auwyang Kongcu, rupanya engkau disini ! Aku setengah mati mencari-carimu dengan hati kuatir! Mari pulang, nanti ayah dan ibumu kuatir memikirkan engkau…!”.
„Tunggu dulu Hek Iopeh (paman-hitam), aku sedang asyik menyaksikan katak-katak itu dengan ringan dapat melompat-lompat indah sekali…….lihatlah katak itu melompat, lucu sekali, bukan ?” kata-anak lelaki itu sambil matanya, terus mengawasi seekor katak yang tengah melompati gabungan padi yang mulai tumbuh tinggi.
Tetapi Hek Lopeh itu telah berkata dengan suara takut-takut : „Tetapi Auwyang- Kongcu, lebih baik kita kembali dulu…tihatlah, hari sudah menjelang sore, nanti aku dimaki oleh Toaya (tuan besar)…! “
„Jangan takut, nanti aku yang memberikan alasan. Kau duduk dulu disini, Hek Lopeh !” kata Auwyang Kongcu dengan suara yang perlahan dan menepuk sampingnya, tetapi dia tetap mengawasi dengan asyik sekali kepada katak-katak yang tengah berlompatan itu. Hek Lopeh telah menghela napas, dia kemudian duduk disamping anak she Auwyang itu.
„Dengarlah dulu, Auwyang Kongcu, dulu waktu kita pulang terlambat, ayahmu hampir menamparku ! Mari cepat kita pulang…!” Tetapi anak she Auwyang itu tidak mau menuruti ajakan pengasuhnya itu, dia masih asyik menyaksikan katak-katak yang berlompatan itu.
Tetapi akhirnya anak itu berdiri juga.
„Engkau selalu mengganggu kegembiraanku, Hek Lopeh!” katanya seperti mendongkol.
„Bukan mengganggumu, Kongcu, tetapi… justru, aku kuatir ayah dan ibumu memarahi aku lagi…! “
„Sudahlah, katak-katak itupun takut melihat mukamu yang hitam”, kata anak itu.
„Mari kita pulang…!” dan sambil berkata begitu dia telah membalikkan tubuhnya untuk meninggalkan tempat tersebut, sedangkan paman hitam itu, pengasuhnya, telah mengikuti dari belakang.
„Engkau hujan-hujanan seperti ini, tentu kesehatanmu bisa terganggu…!” kata Hek Lopeh itu dengan suara berkuatir.
„Jangan takut, tubuhku sehat ! Tidak mungkin baru kehujaaan saja aku sakit…!” dan setelah berkata begitu dia telah berjalan dengan langkah kaki yang lebih lebar.
Disaat itulah Hek Lopeh dan sianak she Auwyang itu telah tiba dimuka sebuah gedung yang besar dan mewah. Seorang Kee-teng telah membukai mereka pintu.
Dari dalam segera terdengar suara seorang wanita berseru kuatir: „Haya, mengapa engkau hujan2an seperti itu, Hong-jie (anak Hong)………?” dan setelah berkata begitu, tampak seorang wanita dengan membawa payung telah menjemput anak itu, yang diusapi kepalanya. „Ayo cepat, dibasuh kepala dan tubuhmu…..nanti engkau bisa masuk angin…!”
Tetapi anak itu, Hong-jie ternyata sangat manja sekali.
„Ma”, katanya kemudian. „Aku tadi telah meninggalkan Hek Lopeh main sembunyi-sembunyian, dan Hek Lopeh tidak berhasil mencari aku…… !”
„Tetapi dilain waktu engkau tidak boleh main nakal seperti itu lagi…!” kata nyonya itu, ibunya.
„Ma, engkau marah ?” tanya Auwyang Hong sambil mengangkat kepalanya mengawasi ibunya.
„Tidak…asal lain waktu engkau tldak membuat ibu menjadi jengkel oleh tabiatmu yang bandel sekali…!”, sahut ibunya.
Auwyang Hong tersenyum, dia bilang : „Yang salah adalah aku Ma! sedangkan Hek Lopeh tidak bersalah, jangan memarahi dia……!”
„Ya…. ya….., cepat engkau basuh tubuhmu…… nanti kalau ayahmu melihat keadaanmu seperti ini, tentu Hek Lotoa akan kena marah ayahmu!”
Auwyang Hong mengiyakan, dan dia telah pergi kebelakang untuk salin pakaian.
itu, Auwyang Hong bersantap dengan ayah dan ibunya.
Ayah Auwyang Hong yang bernama Auwyang Bun itu, adalah seorang yang kaya raya, dia merupakan hartawan terkaya diwiliyah Ciu-tang.
Hartawan she Auwyang ini hanya memiliki seorang putera, yang diberi nama Auwyang Hong. Sebagai putera tunggal dari orang yang kaya raya, tentu saja Auwyang Hong sangat dimanja. Juga setiap pergi keluar rumah harus disertai dengan pengasuhnya.
Sering Hek Lotoa yang menjadi pengasuh Auwyang Hong kena marah dan dimaki-maki Auwyanhg Bun, karena keteledorannya atas kenakalan puteranya itu.
Ada satu kegemaran Auwyang Hong, dia senang sekali menyaksikan kodok-kodok sawah yang tengah melompat-lompat, sering juga anak ini diam-diam pergi kepematang sawah yang tidak terpisah jauh dari rumahnya, untuk menyaksikan kodok-kodok yang tengah berlompatan, yang dianggapnya sangat menarik sekali.
Hek Lotoa sebagai pengasuh Auwyang Hong seringkali keripuhan dan takut, karena anak itu inem”g nakal. Sering waktu Auwyang Hong diajak main oleh pengasuhnya ini, anak itu tahu-tahu lenyap, menghilang entah kemana. Kejadian-kejadian seperti itulah membuat Hek Lotoa sering diliputi kepanikan, karena dia menyadari jika sampai anak itu hilang, entah bagaimana marah majikannya …………………
Tetapi Auwyang Hong memang seorang anak yang nakal, justru dia sering meclakukan pekerjaan-pekerjaan yang bisa menimbulkan kekuatiran Hek Lotoa, karena sengaja Auwyang-Hong ingin melihat. Hek Lotoa jadi panik dan keripuhan sendiri mencari-carinya.
„Hong-jie”, kata sang ayah setelah mereka selesai bersantap. „Kini engkau telah berusia sebelas tahun, maka mulai sekarang engkau harus rajin-rajin mempelajari ilmu sastra yang akan diajari oleh gurumu…!”
„Baik Thia (ayah), Hong-jie akan menyimpan nasehat Thia dan tidak akan melupakannya…!” menyahut sang anak seenaknya. Padahal dia jemu dan tidak senang mempelajari sastra, tetapi takut ayahnya marah, dia selalu berpura-pura senang mempelajari ilmu sastra dari seorang guru sekolah yang sengaja diundang oleh Auwyang Bun, guna mendidik anaknya menjadi seorang pelajar, agar kelak dia bisa merebut pangkat dengan mengikuti perlombaan dan ujian Conggoan.
Tetapi memang Auwyang,Hong seorang anak yang nakal, dia hanya berpura-pura didepan ayahnya saja belajar menulis dan membaca, tetapi ketika dia hanya berdua dengan gurunya, Auwyang Hong tidak pernah menuruti apa yang diperintahkan sang guru. Bahkan dia sering bolos, setiap kali ingin pergi lewat jendela dikamarnya, Auwyang Hong selalu mengancam : „Awas kalau suhu memberitahukan kepada ayah !”
Siguru juga tidak mau usil, dia membiarkan saja muridnya itu pergi bermain, sedangkan setiap waktunya telah habis, dia pulang kerumahnya. Yang terpenting bagi siguru surat itu, dia setiap bulan menerima gaji yang lumayan besarnya dari Auwyang Bun.
Pagi itu Auwyang Hong tengah bermain-main diluar rumah, hujan masih saja turun rintik-rintik, waktu itulah Auwyang Hong melihat seorang kakek-kakek tua berusia antara enam puluh tahun lebih, sedang terbaring disudut tembok luar, tertimpah hujan. Yang menarik perhatian Auwyang Hong justru, dia melihat ge nangan darah didekat kakek tua itu, yang rupanya telah beberapa kali memuntahkan darah segar.
Cepat-cepat Auwyang Hong menghampiri orang tua itu, dia heran melihat sikakek yang terengah-engah seperti juga sedang menahan perasaan sakit yang bukan main.
„Yaya (kakek), apakah, yaya sedang sakit?” tanya Auwyang Hong.
Kakek. tua. itu. membuka sedikit matanya, dia melihat anak itu, kemudian matanya dipejamkan lagi, hanya kepalanya yang diangguk-anggukkan.
„Apakah yaya mau obat ?’ Nanti aku mintakan kepada ibu…?” tanya Auwyang Hong lagi.
„Kau baik, anak…!” kata kakek itu dengan suara yang parau.
„Terima kasih……. obat biasa tidak mungkin menyembuhkan, penyakitku… jika memang engkau bersedia menolongku, maka ambilkanlah Jinsom yang telah berusia seribu tahun lebih…… juga” sebotol arak yang telah disimpan ratusan tahun…….!”, kedua macam barang yang diminta kakek tua itu merupakan barang yang sulit diperoleh, karena Jinsom yang telah berusia seribu-tahun lebih sangat mahal harganya, begitu juga dengan arak yang berusia – seratus tahun, sangat mahal harganya.
GAMBAR 02
„Apakah Yaya mau obat ?. Nanti aku mintakan
kepada Ibu ………….? tanya Auwyang Hong lagi.”

Tetapi keluarga Auwyang sebagai keluarga yang kaya raya, barang-barang berharga seperti itu memang dimilikinya.
„Tunggu dulu …….Yaya, aku akan memintakannya kepada ibu….!” kata Auwyang Hong.
Auwyang Hong telah masuk kedalam gedungnya, sedangkan sikakek telah menghela napas.
„Ibumu mana mau memberikan barang-barang berharga seperti itu ?” menggumam kakek tua itu. Dia telah berusaha untuk bangun, guna meninggalkan tempat itu. Tetapi tidak lama kemudian Auwyang Hong telah keluar membawa ke-dua macam barang yang dikehendaki kakek tua itu.
Sikakek jadi tertegun mengawasi anak itu, baru kemudian mengawasi Jinsom yang telah berusia lebih seribu tahun itu..
„Barang-barang yang bagus apakah ayahmu tidak akan memarahimu jika barang-barang ini diberikan kepadaku.?” tanya kakek itu.
„Tidak…. setiap permintaanku selalu dituruti oleh ayah…!” menyahuti Auwyang Hong.
„Terima, kasih anak, engkau baik sekali kata kakek tua itu, kemudian dia telah menelan jinsom itu, diteguk dengan arak simpanan seratus tahun lebih itu.
„Arak yang baik……! Arak yang baik…. !”. kata pengemis itu, dia telah menggigil tubuhnya, berusaha menahan hawa dingin, karena dirinya telah kehujanan sejak beberapa waktu yang lalu.
„Kalau memang Yaya mau beristirahat dirumah, nanti akan kuperintahkan kee-teng untuk mempersiapkan sebuah kamar. Jika Yaya berlalu dalam keadaan hujan seperti ini, nanti sakitmu kambuh lagi…! “
Sinar mata kakek tua itu bersinar sejenak, kemudian guram kembali: „Kau memang baik anak yang manis. !
„Baiklah, jika ayah dan ibumu mengijinkan, aku bersedia tinggal dirumahmu” kata kakek tua Itu.
„Tunggu sebentar yaya, aku akan memberitahukan ayah dan ibu…!” kata Auwyang Hong yang terus masuk kedalam rumahnya lagi, tidak lama kemudian telah muncul bersama Auwyang Bun ayahnya.
„Kata anakku, Hengtai (saudara) ingin berdiam beberapa saat dirumah kami, silakan….. ! Silakan masuk …..!” kata ayah. Auwyang Hong dengan ramah.
Kakek tua itu: cepat-cepat menjura sambil katanya: „Udara demikian buruk, sehingga aku situa penyakitan Lo Sin terpengaruh cuaca. buruk ini dan jatuh sakit……hai, ……hai, aku hanya akan merepotkan kalian…!”
Auwyang Bun mengemukakan beberapa kata lagi untuk mengundang tamunya itu masuk.
Lo Sin ternyata diberi kamar dibelakang gedung, sebuah kamar berukuran kecil tetapi bersih.
Selama seminggu kakektua itu yang-mengaku-bernama Lo Sin telah tinggal digedungnya keluarga Auwyang tersebut. Pada sore-itu Auwyang Hong seperti biasa mengunjunginya.
„Apakah kesehatah Yaya telah pulih kembali !” tanya Auwyang Hong sambil duduk di samping pembaringan orang tua itu.
„Sudah berangsur sembuh, karena, semua ini prawatan engkau juga, anak yang manis…” kata orana tua itu. Setelah berkata begitu, Lo Sin mengawasi Auwyang Hong beberapa saat lamanya, akhirnya dia bilang: „Anak yang manis, engkau sesungguhnya memiliki tulang dan bakat yang baik untuk mempelajari ilmu silat ……. apakah engkau tertarik untuk mempelajari ilmu silat ?”
Auwyang Hong mengangguk:
„Senang ! Jika memang aku bisa mempelajari ilmu silat, tentu aku girang sekali !
Tetapi ayahku…selalu memaksa aku mempelajari ilmu surat belaka … sungguh menyebalkan…!”.
Muka sikakek tua Lo Sin bersinar, matanya juga memancar terang.
„Jika ada orang yang bersedia mengajari engkau ilmu silat, apakah engkau mau ?”
„Mau ! Siapa orang itu Yaya ?”
„Tetapi hal itu harus dirahasiakan…!” kata Lo Sin.
„Tentu Yaya….. karena jika diketahui ayah, tentu ayah akan marah, karena menurut ayah orang-orang yang mempelajari ilmu silat hanyalah orang-orang kasar yang tidak punya guna…….!”
„Ya, memang lebih baik tidak diberitahukan kepada ayah dan ibumu. Aku akan menurunkan ilmu silat kepadamu….!”
„Yaya mengerti ilmu silat ?”
Lo Sin mengangguk.
„Ya….asal engkau mau berjanji tidak akan memberitahukan kepada orang lain, maka aku akan mengangkat engkau menjadi muridku…….!”
Auwyang Hong jadi girang bukan main.
„Terima kasih Ya…suhu I” katanya yang telah merobah panggilan dari Yaya men jadi suhu.
Lo-Sin juga girang sekali.
„Bangun muridku…!” katanya waktu Auwyang Hong berlutut memberi hormat.
„Setiap malam engkau datang kemari, aku akan mengajarimu . silat yang tinggi sekali dan bisa menjadikan engkau seorang jago yang memiliki kepandaian tinggi luar biasa…!”
„Terima kasih suhu, mulai besok malam aku akan selalu mengunjungi suhu untuk meminta petunjuk…!” kata Auwyang Hong.
Begitulah, setiap malam menjelang datang, Auwyang Hong selalu datang kekamar gurunya untuk melatih diri berbagai kepandaian silat.
Semua itu dilakukan dengan diam-diam, seihingga ayah dan ibunya tidak ada yang mengetahui. Hanya Auwyang Hong minta kepada ayahnya, agar Lo Sin diperbolehkan tinggal dirumah mereka, untuk menjadi kawan bermain Auwyang Hong. Melihat rapatnya hubungan mereka, maka Auwyang Bun telah mengijinkan dan mengabulkan permintaan anaknya.
Tanpa terasa dua tahun sudah berlalu, dan Auwyang Hong telah memiliki kepandaian yang lumayan. Karena Lo Sin sesungguhnya adalah seorang tokoh rimba persilatan yang sangat ditakuti dan disegani lawan maupun kawan, karena dia memiliki kepandaian yang tinggi sekali. Waktu itu dia tengah rebah terluka dimuka gedung Auwyang Bun, karena dia telah melakukan pertempuran dengan beberapa orang jago yang mengeroyok dirinya selama tiga hari tiga malam. Dia bisa membinasakan semua lawannya yang berjumlah tujuh orang, tetapi dia sendiri juga terluka didalam.
Untung saja keluarga Auwyang mengundang dia untuk tinggal digedung mereka, kalau tidak diabisa mati kedinginan. Dengan Jinsom yang telah berusia seribu tahun lebih dan arak yang berusia seratus tahun lebih, luka didalam tubuhnya jadi sembuh.
Dengan dididik oleh Lo Sin, cepat sekali Auwyang Hong memiliki kepandaian yang tinggi, karena justru kepandaian yang diturunkan Lo Sin bukan kepandaian sembarangan.
Sering juga Lo Sin menemani Auwyang Hong menonton kodok-kodok yang tengah berlompatan dipematang sawah.
Saat itulah Lo Sin telah berpikir sesuatu untuk menciptakan semacam ilmu silat yang diambil dari gerakan kodok itu. Dia telah mencoba untuk berjongkok, kemudian mengulurkan kedua tangannya, disalurkan dengan lwekangnya, maka seketika itu juga menyambar angin serangan yang kuat sekali.
„Berhasil ! Aku telah berhasil menciptakan ilmu baru ! Karena diambil dari gerakan kodok, biar kunamakan Ha-mo-kang !”
Auwyang Hong juga girang, dia telah diajari oleh gurunya bagaimana harus meletakkan kedua kaki yang berjongkok itu dengan kuda-kuda yang kuat, dan juga disamping itu harus mengerahkan tenaga ginkangnya: Ternyata Auwyang Hong bisa melakukannya. Tentu saja Auwyang Hong jadi sering sekali pergi kepematang sawah. untuk menyaksikan gerak-gerik kodok-kodok yang terdapat ditempat itu dengan gurunya.
Lo Sin sesungguhnya hanya secara iseng-iseng saja menciptakan ilmu Ha-mo-kang, tetapi kelak justru ilmu itulah yang akan dikembangkan oleh Auwyang Hong menjadi ilmu mujiat yang memiliki kehebatan luar biasa…!
—oo0oo—
BAGIAN 04
AUWYANG HONG

PAGI itu Auwyang Hong sedang bermain dimuka halaman rumahnya ditemani Hek Lotoa. Mereka sedang bermain kelereng, walaupun Lotoa telah berusia tiga puluh tahun lebih, dia selalu dikalahkan oleh Auwyang Hong, yang selalu tepat menyentil kelerengnya.
Sedang asyik-asyiknya mereka bermain, tiba-tiba dari kejauhan terdengar suara orang berteriak-teriak : „Tangkap kuda liar….. ! Kuda liar mengamuk…… ! Tangkap kuda itu…….!” dan serombongan orang terdiri dua puluh orang lebih penduduk daerah itu tengah mengejar seekor kuda yang sebentar-sebentar mengamuk dengan tendangan dan amukannya. Ada salah seorang diantara rombongan orang itu yang cukup berani mendekati kuda itu, namun nasibnya sial, perutnya kena ditendang kaki belakang kuda itu, sehingga orang itu terpelanting sambil meringkuk 17:memegangi perutnya dengan kedua tangannya.
Auwyang Bun dan isterinya yang mendengar suara ribut-ribut seperti itu telah keluar untuk melihat. Betapa terkejut kedua suami isteri ini waktu melihat seekor kuda liar tengah mengamuk dan mendekati kerumah mereka.
„Hong-jie…., anakku …….ooh…….cepat masuk Hongjie……!” teriak nyonya Auwyang dengan suara berkuatir bukan main waktu melihat Auwyang Hong sedang berdiri dipelataran rumah mereka memandangi kuda yang tengah mengamuk itu.
„Jangan kuatir Ma, kuda itu tidak bisa mencelakai aku !” kata Auwyang Hong, dia bahkan telah melompat keluar dari halaman pelataran rumahnya menantikan kuiia liar itu.
Auwyang Bun kaget tidak terhingga, sampai mukanya menjadi pucat pias.
„Hongjie,…… engkau jangan dekati kuda itu, ayo cepat masuk !” teriak sang ayah berkuatir sekali, sedangkan isterinya telah menangis.
Auwyang Hong melihat kuda liar itu mendatangi dekat padanya, maka anak ini telah menekuk kedua kakinya berjongkok, membuat semua orang jadi berkuatir sekali.
Hek Lotoaa telah berteriak-teriak memanggil-manggil majikan kecilnya tanpa berani mendekati.
Kuda liar itu melihat anak kecil tersebut, telah berlari Iebih cepat lagi, dia akan menerjang dengan sepakan kedua kaki dimukanya.
Tetapi waktu kuda liar itu berlari Iebih dekat lagi, disaat itu Auwyang Hong telah meluruskan kedua tangannya mendorong kedepan, dia tetap dalam posisi berjongkok.
aAneh sekali!
Dengan mengeluarkan suara “Bukk……!” yang cukup keras, kuda itu meringkik terpelanting jatuh ditanah, dan tidak bergerak lagi, karena kuda itu seketika mati terkena angin serangan Ha-mo-kang yang dilancarkan Auwyang Hong !
Semua orang jadi memandang takjub dan heran, segera juga para penduduk telah memuji-muji Auwyang Hong sebagai anak yang ajaib.
Sedangkan ayah dan ibu Auwyang Hong berdiri tertegun dengan napas tertahan, mereka heran Auwyang Hong bisa memukul kuda liar itu dengan dorongan kedua tangannya dan kuda itu terbinasa.
Sedangkan Hek Lotoa melihat kuda itu terguling, telah cepat-cepat mendekati majikan kecilnya itu, sambil menarik tangannya.
„Kongcu, ayo masuk, nanti kuda itu bangun lagi kita bisa celaka…
Tetapi Auwyang Hong telah tertawa.
„Kuda itu telah mati…!”
„Mati ? “
“Ya, aku telah membinasakannya !”
Hek Lotoa mengawasi Auwyang Hong dengan tatapan mata tidak mempercayai.
Sedangkan Auwyang Hu-jin (nyonya Auwyang) telah berlari-lari merangkul anaknya.
„Hongjie, lain kali engkau tidak boleh melakukan perbuatan nakal seperti tadi…… engkau tahu betapa berkuatirnya kami akan keselamatanmu………!”
Sedangkan Lo Sin yang telah keluar juga, hanya tersenyum-senyum saja.
Memang Lo-Sin mengetahui bahwa Auwyang Hong dalam waktu dua tahun dididik olehnya telah memiliki kepandaian yang tinggi sekali, kepandaian yang sulit ditandingi jika hanya oleh jago2 yang tanggung memiliki kepandaiannya.
Auwyang Bun menghampiri anaknya.
„Hong-jie, engkau katakan terus terang, dari siapa engkau mempelajari ilmu itu ?” tanyanya dengan muka yang keren dan mata menatap tajam.
Semula Auwyang Hong ingin berdusta, tetapi melihat sikap ayahnya seperti itu, dia tidak berani. Maka ditunjuknya Lo Sin, sambil katanya : „Lo Sin suhu yang telah mengajari aku…….”
Lo Sin cepat-cepat maju, dia telah bilang : “Benar, Loya (tuan besar), aku yang telah lancang mengajarinya ilmu silat ! Tetapi aku telah berpesan kepadanya, ilmu silat yang kuturunkan ini bukan untuk berkelahi, hanya untuk mensehatkan tubuh saja……! “
Sambil berkata begitu, Lo Sin telah menjura.
Muka Auwyang Bun telah berobah biasa lagi, dia bilang kepada Lo Sin : „Aku tidak akan memarahi kalian, justru aku girang si Hong telah memiliki kepandaian yang tinggi seperti itu diluar tahuku, sehingga seekor kuda yang ganas tengah mengamuk itu bisa dihadapinya dengan sekali pukul saja……!”
„Ya, ilmu yang dipelajari Hong-jie hanya untuk membela diri jika diperlukan…. ” kata Lo Sin.
Begitulah sejak hari itu, Auwyang Hong tidak perlu sembunyi-sembunyi mempelajari ilmu silat dari Lo Sin. Hanya satu pesan Lo Sin bahwa Auwyang Hong tidak boleh memberitahukan para pelayan dirumahnya dan tidak boleh memperlihatkan lagi ilmu silatnya.
Auwyang Hong telah memberikan janjinya dan meminta maaf kepada gurunya, karena tadi dia sangat tertarik melihat kuda liar yang tengah mengamuk itu, maka dia ingin coba-coba tenaga dalam yarig telah dimilikinya. Sang guru juga tidak menegurnya, hanya dia dipesan wanti-wanti tidak boleh sembarangan mempergunakan ilmunya jika tengah main-main bersama anak-anak sebaya dengannya, karena bisa bahaya, dimana jika Auwyang Hong terlup dan dia menggerakkan tangannya, bukankah kawan sebayanya itu akan binasa seperti yang dialami kuda liar itu ? –
Telah dua tahun lagi lewat dengan cepat, dan kepandaian Auwyang Hong kian bertambah tinggi saja, karena Lo Sin memang mraewarikan seluruh kepandaiannya. Dalam usia Iima-belas tahun Auwyang Hong sudah merupakan seorang jago muda yang jarang sekali tandingannya.
—oo0oo—
BAGIAN 05
OEY YOK SU

MARI kita tinggalkan Auwyang Hong, kita menengok kekampung Bu-sai yang terletak didaerah Kanglam. Kampung itu merupakan perkampungan yang tenang, tenteram, dimana para penduduknya hidup dengan bercocok tanam.
Sudah sering dikemukakan terkenalnya akan keindahan alam di Kanglam, gadis-gadis Kanglam terkenal akan kelembutannya. Tetapi diperkampungan itu, tidak terlihat gadis-gadis, hanya terdiri dari orang-orang tua dan lelaki bertubuh tegap, karena mereka umumnya jika memiliki puteri, selalu diberikan kepada orang. Untuk suatu keluarga di Kampung itu, mereka hanya menghargai jika isteri-nya melahirkan seorang anak lelaki. Tidak mengherankan jika diperkampungan tersebut tidak ada gadis-gadis muda belia, karena mereka umumnya diberikan kepada penduduk dikota-kota yang membutuhkan anak wanita.
Dalam sebuah keluarga Oey, terdapat suatu kelainan dari keadaan penduduk lainnya, karena keluarga ini memiliki dua orang puteri dan seorang putera. Ketiga anaknya itu dibesarkan tanpa dibeda-bedakan oleh Oey Han, sang ayah. Bahkan puteri-puterinya telah diberi pelajaran menyulam, sedangkan Oey Yok Su, sang putera, telah diajarkan bagaimana melukuh tanah, mengolah danrt memelihara padi-padi yang harus ditanam, sehingga memperoleh panen yang baik.
Oey Yok Su merupakan seorang anak lelaki berusia dua belas tahun yang memiliki sifat pendiam, jarang sekali dia bicara jika tidak perlu benar. Disamging,itu sifatnya juga keras sekali, jika dia sudah tidak menghendaki sesuatu, walaupun dipaksakan dia tidak pernah mau menerimanya. Oey Han sebagai seorang ayah yang baik, telah mengenal watak anaknya yang seorang ini dan mengatur serta mendidiknya dengan kelembutan.
Pagi itu seperti biasa Oey Yok Su ikut ayahnya pergi keladang mereka, untuk melukuh tanah, dan menyebarkan bibit padi yang baik, dimana mereka telah memilihnya bibit unggul sebagai tanaman mereka.
Rajin sekali anak lelaki itu membantu ayahnya, jarang dia berhenti bekerja, jika ayahnya yang tidak meminta agar Oey Yok Su beristirahat.
Sedang ayah dan anak itu sibuk, diladang mereka, tiba-tiba dipematang sawah mereka lewat seorang niekouw, pendeta wanita, yang membawa hudtim (kebutan untuk pendeta) ditangan kanannya.
„Orang she Oey !” tiba-tiba niekouw itu telah memanggil dengan suara yang nyaring.
Oey Han heran, dia menoleh dan bertanya:
„Sienie memanggil aku ?” tanyanya.
„Ya, kemari kau…!” .
Oey Han mengangguk ragu, dia menghampiri dengan mata memandang bertanya-tanya. Dia tjdak mengerti apa maksud niekouw itu memanggilnya.
„Ada apa, Sienie ?” tanya Oey Han akhirnya sambil mendekati niekouw itu.
„Aku ingin bertanya, apakah engkau yang memiliki dua orang puteri ?” tanya niekouw itu.
Oey Han tambah heran, sedangkan Oey Yok Su hanya berdiri dikejauhan memandang tidak mengerti, mengapa niekouw itu mengetahui she ayahnya.
„Benar……. ada sangkutan apakah dengan Sienie ?” tanya Oey Han.
„Penduduk kampung ini umumnya tidak, mau memelihara anak perempuan”, kata niekouw tersebut. „Dan hanya engkau yang memelihara terus kedua puterimu. Itulah suatu kelainan yang menyolok sekali. Bisakah kau menjelaskan dengan alasan apa engkau memelihara terus kedua puterimu itu. ?”
„Aku menyayangi mereka, sebagai seorang ayah aku tidak tega jika mereka diberikan kepada orang lain…….!”.
„Bagus….. ! Tetapi aku justru hendak meminta kedua puterimu itu !”
Oey Han terkejut.
„Siapakah Sienie ?” tanyanyn.
„Aku Tok Han Sienie..,!”.
„Hemm……., sesungguhnya aku tidak kenal dengan Sienie, tetapi Sienie telah mengetahui aku she Oey! Dari manakah Sienie mengetahuinya?”
„Aku mendengar dari penduduk kampung ini…….!” menyahuti niekouw itu.
„Maafkan Sienie, aku tidak bisa menuruti dan mengabulkan permintaanmu …… biarlah kedua puteriku itu kurawat terus……!” kata Oey Han.
„Aku sudah mengatakan, aku senang sekali kepada kedua puterimu itu….apakah engkau tidak merasa kasihan jika kedua anak yang manis itu hanya bisa menyulam belaka……? Bukankah lebih baik diberikan kepadaku, sehingga mereka akan kudidik berbagai ilmu ?”.
„Tidak bisa Sienie…….kami sudah tidak mungkin berpisah…….!”
Niekouw..itu tertawa-sinis.
„Jadi engkau menolak permintaanku ?” tanya niekouw itu.
„Ya ………!”
„Jika engkau menolak, berarti aku harus mengambilnya dengan kekerasan…!”
Mata Oey Han jadi berobah bersinar terang, hatinya mendongkol sekali. .
„Sienie, aku menghormatimu sebagai seorang pendeta suci yang tentunya tidak akan melakukan hal2 yang tidak pantas……..” kata Oey Han.
„Aku memang tidak akan melakukan hal-hal yang tidak pantas, tetapi justru aku hendak mendidik kedua orang puterimu itu……”
„Tidak sienie, aku tidak bersedia mengabulkan permintaanmu…!” kata Oey Han.
„Baiklah jika memang begitu…!” dan setelah berkata begitu, niekouw ini- mengibaskan hudtimirya, „Wutt…….!” bulu hudtim itu menghantam dada Oey Han, menyebabkan lelaki ini terhuyung mundur dan memuntahkan darah-sebagai Niekouw itu, Tok Han Sienie telah tersenyum mengejek.
„Sekali lagi engkau mengatakan tidak bisa mengabulkan permintaanku, dan sekali saja aku mengibaskan hudtimku ini, maka disaat itu jiwamu akan melayang tidak terampuni lagi…!” kata niekouw itu.
Muka Oey Han jadi pucat pasi, sedangkan Oey Yok Su jadi terkejut melihat peristiwa yang menimpah ayahnya, dia, menghampiri ayahnya sambil memegangi kedua tangan orang tuanya, dia berkata : „Kenapa kau ayah ?”.
„Niekouw itu…. niekouw itu….! jahat sekali….. dia telah melukai aku…!” menjelaskan Oey Han.
„Hei pendeta yang tidak tahu aturanI !” bentak Oey Yok Su berani sekali.
„Mengapa engkau melukai ayahku ?”
„Engkau anak yang masih bau kencur, lebih baik engkau tidak mencampuri- urusan ini……..” kata niekouw itu.
Tetapi Oey Yok Su memang memiliki adat yang keras, semakin niekouw itu memperlihat kan sikap yang sinis dan kurang ajar, Oey Yok Su semakin keras pula bertanya : „Tetapi engkau tidak mengenal aturan, ayahku yang tidak bersalah apa-apa telah engkau lukai seenakmu saja.,,,,..!” dan setelah berkata begitu, Oey Yok Su tahu-tahu menyeruduk dengan kepalanya akan menyeruduk perut niekouw tersebut.
Tetapi niekouw itu tertawa dingin, dia telah mengelakkan diri kesamping, dan waktu tubuh Oey Yak Su nyelonong terus, dia menepuk perlahan pundak anak itu, tidak ampun lagi Oey Yak Su terpental dan terjerambab mencium tanah, jatuh dipengempang air ditanah yang menyerupai lumpur. Waktu anak itu bangkit kembali, seluruh tubuhnya telah kotor tidak keruan oleh lumpur sawah itu.
Tetapi Oey Yok Su sudah tidak memperdulikan keadaan dirinya, dia telah mengeluarkan teriakan marah dan menghampiri lagi Tok Han Sienie, dengan cepat dia mengayunkan kepalan tangan kanannya yang kecil untuk memukul nie-kouw itu.
Tetapi niekouw tersebut mana mau membiarkan tubuhnya kena dipukul tangan Oey Yok Su yang berlumuran tanah sawah yang kotor itu ? Dengan cepat niekouw itu telah mengelakkan dirinya kesamping.
Oey Yok Su yang menduga bahwa pukulan tangannya itu tidak mungkin bisa mengenai sasarannya, dia menubruk dan tahu-tahu telah memeluk pinggang niekouw itu.
Niekouw tersebut jadi mengeluarkan seruan keras, karena terkejut, dia mengangkat tangan kanannya, lalu mencengkeram lengan kanan Oey Yok Su.
„Jika engkau tidak mau melepaskan pelukanmu, biarlah aku akan melemparkan engkau, kubanting sampai menemui ajalmu…….!” ancam niekouw itu dengan suara yang tajam.
Tetapi Oey Yok Su tidak memperdulikan, dia memeluk semakin keras, bahkan tahu-tahu mulutnya telah terpentang, dia menggigit perut niekouw itu.
Keruan saja.siniekouw jadi kesakitan, dia memukul pundak anak itu.
Tetapi Oey Yok Su tidak memperdulikan perasaan sakit dipundaknya itu. Dia menggigit tambah keras, tidak-mau melepaskannya.
Niekouw itu jadi kelabakan, karena semakin lama perasaan sakit itu terasa sampai menusuk hatinya.
„Anak setan kau…!” bentak niekouw itu, „engkau rupanya sudah bosan hidup…!” dan niekouw itu telah menggerakkan hudtimnya ingin menghajar kepala Oey Yok Su. Jika hudtim itu mengenai kepala Oey Yok So, tentu anak itu akan terbinasa, atau setidak-tidaknya akan gegar otak, karena serangan hudtim itu disertai tenaga sinkang yang tinggi dan kuat.
Tetapi belum lagi hudtim itu mengenai kepala Oey Yok Su, tiba-tiba terdengar suara orang berkata lembut : „Jangan mencelakai anak itu…”
Siniekouw jadi menahan meluncurnya Hudtim ditangannya, dia telah menoleh, dilihatnya seorang lelaki setengah baya tengah berdiri didekatnya. Entah sejak kapan orang itu berada ditempat itu, tidak diketahui oleh siniekouw.
Rambut orang itu terurai tidak terurus, tampaknya kotor sekali, dan pakaiannya juga agak aneh, dia memakai baju berkembang-kembang, tetapi potongannya tidak keruan macam.
„Engkau…?” niekouw itu bertanya agak terkejut.
„Ya, aku situa dari pegunungan…… menyahuti orang tua itu.
„Engkau…engkau si tua dari pegunungan ?” tanya niekouw itu dengan suara yang mengandung porasaan terkejut.
„Tidak salah……..ampuni anak itu…….!”
„Tetapi…… dia masih menggigitku terus….!” kata niekouw itu.
„Anak yang baik, lepaskan gigitanmu…!” kata orang tua dari pegunungan itu dengan suara yang lembut.
Oey Yok Su melepaskan gigitannya, sedangkan siniekouw telah cepat-cepat, melompat mundur.
„Mengapa engkau mencampuri urusanku ?” tanya niekouw itu.
„Tok Han Sienie, engkau meminta anak orang, lalu sang ayah tidak mengijinkan, mengapa engkau memaksanya terus, bahkan melukai sang ayah itu ? Apakah caramu ini menurut aturan Kang-ouw ?”
Ditanya begitu, Tok Han Sienie telah berobah mukanya mejadi merah. jeri untuk berurusan deagan kau…!”.
„Akupun tidak mengatakan engkau jeri berurusan denganku,, hanya aku ingin meminta ke-padamu agar engkau tidak tertalu mendesak orang she Oey itu……”
„Hemm….., Kim Ie Seng, engkau rupanya mengandalkan namamu yang menggetarkan rimba persilatan untuk menggertak aku? Jika engkau ingin membela mereka, majulah, aku tidak gentar menghadapimu……”
Dan setelah berkata begitu, tampak Tok Han Sienie telah mempersiapkan hudtimnya dengan sikap bersiap sedia untuk menerima serangan.
Orang tua dari pegunungan Kim le Seng telah tertawa.
„Apakah hanya soal sekecil ini engkau ingin bertempur denganku ?” tanyanya.
„Ya, majulah! Aku tetap ingin meminta kedua orang anak perempuan orang she Oey itu, aku bermaksud mendidik mereka, mengambilnya menjadi muridku …… mereka memiliki bakat yang baik sekali ! Jika engkau bisa merubuhkan aku, akan kubatalkan maksudku itu, tetapi jika engkau tidak berhasil merubuhkan aku, hemm…., hemm…., sejak saat itu engkau jangan mengganggu aku lagi……….!”
Kim Ie Seng tertawa bergelak-gelak dengan suara yang nyaring, lalu dia berkata dengan suara yang dingin :
„Jika engkau bisa bertempur denganku lebih dari sepuluh jurus, hitung-hitung aku yang telah kalah !” kata Kim le Seng kemudian.
Mendengar perkataan Kim le Seng seperti itu, tampak muka Tok Han Sienie berobah tidak senang:
„Engkau jangan terlalu takbur dan sombong, Kim Ie Seng, walaupun belum tentu aku bisa merubuhkan dirimu, tetapi engkaupun tidak mungkin bisa merubuhkan diriku…!” dan selesai berkata, tahu-tahu niekouw itu telah menjejakkan kakinya, tubuhnya melompat menerjang, sambil mengayunkan Hudtimnya. „Terimalah seranganku…….!”
Tetapi kebutan Hudtimnya yang mengincer kepala Kim le Seng itu tidak berhasil mengenai sasaran, karena dengan gerakan perlahan, tetapi gesit, tampak. Kim le Seng berhasil me-, n;lelakkan diri.
„Sudah, satu jurus! Jika sampai tiga jurus engkau tidak bisa merubuhkan diriku, disaat itu aku baru akan menyerangmu……..!”
„Ya ….., ini jurus kedua !” bentak Tok Han Sienie sambil menggerakkan tangan kanannya menggerakkan hudtimnya untuk menyerang bagian dada, sedangkan tangan kirinya meluncur akan menepuk kepala Kim le Seng.
Tetapi Kim le Seng dengan gerakan “Lee le Ta Tong” atau “Ikan Gabus Meletik.” tahu-tahu tubuhnya, telah melompat ketengah udara, dan sambil melompat dia mengulurkan tangannya untuk merebut Hudtim niekouw itu.
Cepat-cepat Tok Han Sienie menarik pulang hudtimnya, dia berkelit kesamping, lalu membarengi lagi untuk melancarkan serangan dengan tangan kirinya memukul kearah tulang selangka (piepe) dibahu Kim le Seng. „Inilah jurus yang ketiga…!” kata Kim le Seng. „Dan engkau bersiap-siaplah, karena aku akan segera melancarkan serangan, aku jamin, sebelum sepuluh jurus, engkau sudah dapat kurubuhkan…….!” dan selesai berkata, Kim le Seng tidak berdiam diri tangan kanannya digerakkan untuk merampas Hudtim niekouw itu, sedangkan tangan kirinya mendorong dengan kuat sekali, dorongan yang bisa menghancurkan batu.
Niekouw itu jadi terkejut dan cepat-cepat berkelit. Tetapi tangan kiri Kim le Seng seperti meluncur terus menerjang kedada siniekouw.
Niekouw itu melompat sekali lagi, dan kesempatan itu telah dipergunakan oleh Kim Ie Seng, sambil mengeluarkan bentakan : „Lepas…..!” tangan kanannya berhasil mencekal bulu Hudtim pendeta itu.
Siniekouw terkesiap hatinya, dia berusaha menariknya, tetapi bulu Hudtimnya tidak terlepas dari cekalan tangan Kim Ie Seng.
„Lepas……!” kembali Kim le Seng membentak sambil menambah tenaga sinkangnya yang disalurkan, ketangan kanannya: Namun Tok Han Sienie juga telah mempergunakan sinkangnya untuk bertahan, maka yang menjadi korban adalah hudtim itu, bulu-bulunya telah terlepas dari kayunya. Jika Kim Ie Seng mendapat bulu-bulu Hudtim itu, sedangkan Tok Han Sienie tetap memegang gagangnya.
Muka Tok Han Sienie jadi berobah merah padam karena gusar. Dengan mengeluarkan suara erangan yang keras sekali dia telah membentak sambil menerjang, tangas kanannya dipakai menotok mempergunakan ujung kayu gagang hudtim yang telah rusak, seuangkan tangan kirinya menepuk akan menghancurkan kepala lawannya.
Secepat kilat Kim Ie Seng mengelakkan serangan tersebut dan telah melompat mundur. Dia membuang bulu-bulu hudtim yang ditangannja itu kepinggiran pematang sawah,lalu dia menyentil gagang hudtim yang menyambar akan menotok jalan darah Siu-ling-hiatnya, kemudian diapun memiringkan tubuhnya dengan menekuk kaki kanannya, mengelakkan kepalanya dari tepukan tangan kiri, siniekouw yang mengandung tenaga sinkang cukup kuat.
Waktu itu Tok Han Sienie menjadi kalap disebabkan kemarahan yang meluap, dia telah menyerang lagi sekaligus dengan kedua tangannja.
Tetapi kim le Seng telah menangkis dengan kedua tangannya. Benturan dua pasang tangan itu mengeluarkan suara yang cukup keras dan keduanya telah mengerahkan tenaga sinkang masing-masing, maka disaat itulah tubuhnya siniekouw telah terhuyung-huyung, rupanya tenaga yang dilancarkan oleh niekouw itu kalah kuat dibandingkan tenaga dalam Kim Ie Seng.
Dengan muka merah padam karena gusar, tampak siniekouw telah berkata mengandung dendam : „Baik, kali ini aku tidak bisa merubuhkan dirimu, namun suatu saat nanti aku akan mencarimu……..!” dan setelah berkata begitu Tok Han Sienie memutar- tubuhnya untuk berlalu.
Kim Ie Seng menghela napas.
„Niekouw yang jahat…….!” menggerutu orang she Kim itu. Dia merogoh sakunya mengeluarkan pil berwarna coklat, dia bilang: „Telanlah obat ini dan kau beristirahat……!”
Oey Han telah menerima pil itu sambil mengucapkan terima kasih.
Waktu itu Kim Ie Seng telah berlalu.
Tetapi berjalan beberapa langkah, Oey Yok Su telah memanggilnya : „Paman…..!”
Kim Ie Seng menahan langkah kakinya, dia menoleh, lalu tanyanya : „Ada apa, engko kecil ?”
„Terima kasih atas bantuan yang diberikan paman ………. ” kata Oey Yok Su sambil menjura.
„Engkau tidak perlu berkata begitu, niekouw itu memang jahat ……… untung saja dia telah dapat kuusir pergi…….!” kata Kim le Seng.
„Maukah paman singgah dirumah kami ?” tanya Oey Yok Su.
„Heh ?” siorang she Kim telah memandang tersenyum kepada Oey Yok Su yang diawasinya sekian lama, akhirnya dia baru berkata : „Baik….! Baik…..! Ada baiknya juga aku singgah dirumahmu…….!”
Oey Yok Su dan ayahnya girang, mereka segera menuju kerumah.
Oey Han perintahkan isterinya memotong ayam dan menghidangkan kepada tamu yang menjadi tuan penolong mereka. Sedangkan kedua anak perempuan Oey Han telah mengucapkan terima kasih mereka.
„Oey-heng (saudara Oey), sebetulnya engkau sangat bahagia sekali, memiliki anak perempuan yang manis-manis dan juga memiliki seorang putera seperti Su-jie, dia -memilki bakat yang baik untuk mempelajari ilmu silat………”
„Benar apa yang dikatakan oleh Inkong (tuan penolong), memang Su-jie selalu ribut ingin belajar ilmu silat. Tetapi siapa yang akan menjadi gurunya, tidak ada seorang guru silat” yang kukenal ! Dan jika belajar silat dikota, tentu memerlukan uang sangat banyak!”
„Jika memang 0ey-heng tidak keberatan, aku bersedia mendidiknya menjadi muridku !” kata Kim Ie Seng.
Muka ……… Oey Han berobah girang, lalu dia berkata : „Terima kasih Inkong, alangkah bersyukurnya kami, telah bisa menerima bantuan dan pertolongan Inkong…….!” dan setelah berkata begitu, Oey I4Han memanggil Yok Su, diperintahkan untuk memberi hormat kepada gurunya.
Disaat itu juga disiapkan dua batang Iilin dan upacara pengangkatan guru dan murid telah dilakukan.
Oey Yok Su girang bukan main, apa lagi Kim le Seng telah mengatakan besok dia akan mengajaknya untuk berkelana. Oey Han naengi jinkan……… karena dia memang hendak mendidik ,anaknya itu agar menjadi seorang anak yang tegap dan kuat.”
Keesokan harinya, Kim Ie Seng telah pamitan, dia membawa Oey Yok Su.
Perpisahan yang mengharukan bercampur girang itu telah menitikkan air mata pada keluarga Oey. Tetapi kepergian Oey Yok Su malah untuk kebaikan anak itu juga, agar kelak dia memiliki kepanuatan yang tinggi.
Oey Yok Su mengikuti gurunya berkelana dari kota yang satu kekota yang Iainnya, dan juga telah mempelajari ilmu silat dari Kim Ie Song.
Teta waktu pagi itu mereka berada dikaki gunung Bin San, telah terjadi urusan yang mereka terlibat persoala:n tersebut.
Waktu itu ada tiga orang yang mengha-dang perjalanan mereka, semuanya memiliki muka yang bengis, dengan muka yang berewokan dan mata yang memandang ta jam bengis. Kim le Seng telah menegur : „Apa maksud kalian menghadang kami ?”
„Serahkan seluruh barang-barang kalian, siapa yang mempergunakan jalan ini harus membayar pajak !” kata salah seorang diantara ketiga penghadang itu.
Kim Ie Seng jadi gusar. Jadi ketiga orang ini adalah Ouwpak (perampok) yang bekerja untuk membegal setiap orang yang lewat’ ditempat ini. „Siapa kalian ?” tanya Kim le Seng sambil menahan kemarahan hatinya.
„Kami Bin-San Sam Ciat (Tiga Penjahat dari Bin san) …….. cepat serahkan barang-barang kalian !” sahut salah seorang diantara mereka.
Kim Ie Seng jadi terkejut juga, Bin San Sam Ciat terkenat akan keganasannya dan memiliki kepandaian yang tinggi. Mereka merupakan perampok-perampok yang sangat ditakuti oleh para piauwsu.
Waktu itu, tampak Kim Ie Seng tetap berdiri tenang-tenang ditempatnya, tetapi keadaan demikian bukan berarti. Kim le Seng tidak memandang ketiga penjahat itu, hanya karena dia memang tengah menindih perasaan gentarnya, karena dia telah banyak mendengar perihal keganasan ketiga orang perampok ini disamping kepandaian ilmu silat goloknya yang sangat tinggi sekali.
Oey Yok Su jadi ngeri melihat golok yang berkilauan itu, sedangkan Kim Ie Seng telah perintahkan muridnya agar menyingkir kesamping.
Tetapi karena telah terlanjur dihadang, maka Kim le Seng bermaksud untuk menguji kepandaian ketiga orang perampok itu.
„Baiklah, aku Kim Ie Seng seorang yang miskin melarat tidak memiliki harta-benda apapun ! Hanya kedua kepalan tangan ini yang bisa kuberikan kepada kalian………!”
Muka ketiga perampok Bin San itu jadi berobah merah mendengar ucapan itu.
„Jika kami mengambil tindakan kekerasan jangan mempersalahkan kami !” bentak salah seorang dari mereka. „Kau termasuk manusia tidak mengenal mampus……..!”
Dengan bersuara ‘Sringg….., sringg….., sring….. ketiganya telah mencabut golok mereka masing-masing, dan langsung mereka menyerang Kim Ie Seng.
Cepat Kim le Seng telah mengeluarkan suara seruan, waktu golok lawannya yang sebelah kanan meluncur datang, dia mengelakkan diri dengan memiringkan tubuhnya kekanan, dan membarengi dengan itu dia mengulurkan tangan kanannya menjambret salah seorang lawannya, sekali raja dia menariknya, seketika itu juga tubuh orang itu terjerunuk hampir jatuh.
Untung saja orang itu keburu menyalurkan lwekangnya, dikedua kakinya, sehingga dia berhasil mengendalikan tubuhnya tidak sampai terjungkel.
Sedangkan kedua kawannya jadi, terkejut bercampur gusar, mereka telah mengeluarkan suara serangan dan melancarkan serangan serentak.
Memang Kim le Seng bisa mengelakkan bacokan yang seorang, tetapi lawannya yang satunya lagi telah berhasil menyontek dengan goloknya, sehingga lengan Kim le Seng terluka mengucurkan darah dan tubuhnya menjadi terhuyung-huyung, sedangkan tangan kirinya memegangi lengan kanannya yang’telah berlumuran darah.
Disaat itu, tampak salah seorang Bin San Sam Ciat telah menyerang pula dengan goloknya, menyimpang dari kiri kekanan, merupakan suatu tabasan kearah perut Kim le Seng yang bisa mematikan. . .
Kim Ie Seng terkejut melibat menyambarnya serangan tersebut, dia bermaksud mengelakkan diri, tetapi sudah tidak keburu. Hati Kim le Seng jadi mencelos, mati-matian dia menjejakkan kakinya melompat mundur, justru begitu dia mundur, lawannya yang seorang lagi telah membacok dari atas kepala turun kebawah.
„Habislah aku kali ini…!” mengeluh Kim le Seng. Golok lawannya menyambar terus dengan deras, hanya terpisah- beberapa dim lagi dari kepalanya.
Tetapi dalam keadaan yang genting seperti itu, telah berkelebat sesosok bayangan dengan gerakan yang sangat cepat sekali.
Tiba-tiba terdengar kedua orang dari Bin San Sam Ciat itu men jerit keras, tubuh mereka terpental dan ambruk ditanah -dengan keras.
Mereka tidak bisa bangun pula, karena jiwariya telah melayang.
Dihadapan mereka berdiri seorang lelaki berusia lanjut, dengan pakaian yang hijau dan muka yang dingin tidak memperlihatkan perasaan apapun juga.
Bin San Sam Ciat yang seorang lagi telah mengeluarkan suara seruan kaget dan -dia memandang dengan mata gentar kepada orang yang baru muncul ini. -Kim le Seng juga telah mengaluarkau seruan tertahan.
„Tocu Tho Hoa To !” berseru Kim Ie Seng . dengan suara perlahan.
„Hemm…!” mendengus lelaki tua berpakaian hijau itu dengan sorot mata yang sangat tajam. Disaat itu dia telah memutar tubuhnya. dan memandang bengis kepada Bin San Sam Ciat yang seorang itu.
„Engkau harus mati juga…….!” ‘suaranya dingin, dingin sinar matanya.
Bin San Sam Ciat yang seorang itu gemetaran kedua kakinya.
„Ampunilah aku………!” kata Sam Ciat yang seorang ini, karena dia melihat kedua orang saudaranya telah terbinasa dengan hanya sekali serang saja.
„Hemm, ampunimu ?” tanya tocu (pemilik) pulau Tho Hoa To dengan suara yang dingin. „Mudah….. ! Mudah sekali……..! Asal engkau mau menabas batang lehermu sendiri ! Aku menghadiahkan kematian yang paling enak untukmu !”
Muka Bin San Sam Ciat yang seorang itu jadi tampak pucat, dia telah berkata dengan suara yang mengandung kemarahan bercampur takut : „Kau….. kami…… tidak bermusuhan denganmu, mengapa kau usil membinasakan kedua saudaraku ?”
„Hemm……., orang itu juga tidak bermusuhan dengan kalian, tetapi kalian bermaksud untuk membinasakannya, bukan ?”
Disanggapi begitu, muka Sam Ciat yang seorang itu tambah pucat, tubuhnya menggigil.
Dengan muka yang angker Tocu dari To Hoa To telah berkata dengan suara yang dingin: „Apakah engkau tidak mau membunuh diri sendiri?”
Bin San Sam Ciat itu tambah ketakutan, dia serba salah.
„Baiklah, aku mengampunimu………!” kata Tocu Tho Hoa To itu.
Dan sambil berkata begitu, tangan kanannya mengibas, Sam Ciat yang tinggal seorang itu menduga lawannya ingin menyerang dia dengan kibasan lengan bajunya, maka dia bermaksud untuk menangkis mempergunakan goloknya.
Tetapi begitu goloknya diangkat, justru tangan Tocu Tho Hoa To telah menyambar kedadanya.
„Dukk…….!” perlahan suara serangan itu mengenai sasarannya, tetapi hebat kesudahannya. Tulang dada dari Sam Ciat yang seorang itu telah melesak dan pada patah, tubuhnya telah terpental, ambruk ditanah tidak bernapas lagi, itulah pengampunan dari Tocu Tho Hoa To yang mengampuninya untuk mati dengan segera tanpa siksaan lagi.
Kim Ie Seng jadi girang melihat datangnya penolong ini, tetapi belum lagi Kim le Seng sempat cnengucapkan terima kasihnya, disaat itu tampak Tocu Tho Hoa To telah membalikkan tubuhnya, memandang dingin kepada Kim Ie Seng.
„Tabas putus lengan kananmu !” perintahnya.
Darah Kim le. Seng jadi tersirap kaget, dia telah berkata gugup : „Kau…kau…!”.
„Atau engkau menghendaki pengampunan seperti dia itu ?” tanya Tocu Tho Hoa To menunjuk kearah ketiga mayat Sam Ciat.
Muka Kim le Seng jadi tambah pucat, akhirynya dia mengambil golok dari salah seorang mayat Sam Ciat itu, tanpa men-gucapkan katai-kata apapun juga dia telah menabas putus lengan kanannya sendiri. Dengan meringis menahan sakit Kim le Seng telah berkata : „Terima kasih atas pengampunan Tocu kepadaku……….!” dan setelah berkata begitu, dia meringis sebentar menahan sakit, lalu dia berkata lagi : „Dan sekarang kami ingin pamit………! “.
„Ya, kau pergilah, tinggalkan anak itu untukku !” kata Tocu dari Tho Hoa To itu.
„Ap……..apa ?” tanya Kim le Seng dengan muka yang berobah pucat.
„Anak ini murid-ku…!”.
„Kukatakan : tinggalkan anak itu untukku……..! Kau pergilah menggelinding………..!” dingin sekali suara Tocu Tho Hoa To itu.
Kim le Seng rupanya mengetahui siapa Tocu Tho Hoa To ini, dia tidak berani menentang prerkataannya, maka dia telah berkata : „Baiklah !
Dan kau Oey Yok Su, engkau harus baik-baik mendengar kata Tocu iai…!’Y,
„Suhu…engkau mau kemana ?” tariya Oey Yok 5u seperti baru terbangun dari mimpinya. Sejak tadi dia hanya menyaksikan betapa kejam dan telengasnya, Tocu Tho Hoa To itu, sampai gurunya sendiri begitu ketakutan, mengorbankan lengan kanannya yang ditabas putus oleh dia sendiri.
„Engkau ikut ……….. bersama Tocu dan baik-baiklah melayaninya ……….. aku ingin pergi dulu…!”
„Aku, ikut denganmu, suhu………..!” kata Oey Yok Su.
„Aku tidak mau ikut orang yang kejam seperti dia…….!” sambil berkata begitu, Oey Yok Su menunjuk kepada Tocu Tho Hoa To.
Kim le Seng jadi terkejut mendengar perkataan Oey Yok Su.
„Jangan……….!” tetapi baru saja Kim le Seng berkata begitu, telah berkelebat sesosok bayangan dan disusul dengan suara ‘plak…., plok……!’ lalu terdengar suara menjeritnya Oey Yok Su yang telah ditampar oleh Tocu Tho Hoa To itu.
„Engkau………engkau jahat sekali………!” teriak Oey Yok Su yang mukanya menjadi bengkak.
Tetapi Tocu Tho Hoa To itu tidak memperdulikannya, dia telah membentak dingin sekali kepada Kim le Seng.
„Engkau belum juga pergi ?” katanya.
„Akan segera pergi, aku akan segera pergi……..!” menyahuti Kim le Seng sambil memutar tubuhnya untuk berlalu dengan cepat.
Oey Yok Su mengejarnya, katanya dengan suara berteriak : „Suhu…….aku ikut dengan kau!”
Tetapi Kim le Seng tidak berani menoleh lagi, dia telah mementang kakinya cepat-cepat berlalu dari tempat itu.
—oo0oo—

Tinggalkan komentar